Minggu, 04 Januari 2015

MUKADIMMAH


Dalam batas-batas yang tak terlihat manusia sebetulnya saling terhubung satu sama lain. Disadari atau tidak. Sekecil apapun dia bersentuhan dengan garis kehidupan kita. Apalagi di zaman serba canggih seperti sekarang. Teknologi transportasi dan komunikasi menghubungkan kita dengan bermiliaran orang yang dahulu kita pikir tidak mungkin kita kenal. Lewat jejaring sosial menyentuh berbagai jenis orang di belahan dunia berbeda, di zona waktu yang saling berlainan satu sama lain, di saat yang bersamaan. Sekali klik di keyword pencarian menghubungkan kita dengan ratusan ribu referensi.
            “Di Eropa perjalanan wisata tanpa HP dan alat elektronik sekarang sedang gencar lho. Malah harganya jauh lebih mahal dengan paket-paket wisata yang lain. Padahal mung kon ndelekke HP wae,”
            Ucapan Bapak waktu melihat saya dan adik asik dengan gadget kami masing-masing tanpa saling mengobrol satu sama lain dalam waktu yang lama itu terngiang. Saya diam lalu saya pertanyakan pada diri saya sendiri. Coba merunut aktifitas harian dan orang-orang yang saya temui ketika melakukan aktifitas tersebut.
            Pak Satpam yang setiap senin sampai sabtu siap sedia berjaga di pos satpam sekolah. Pun di hari Minggu, tanggal merah, dan libur semester. Oke. Saya tahu beberapa namanya. Beberapa.
            Pak polisi di perempatan gramedia di perjalanan ke shelter TJ. Selalu siap sedia di depan kantornya ketika saya jalan menyeberangi zebracross. Matanya awas mengamati pengendara. Entah mencari pelanggar, mengatur lalu lintas, menderek mobil, atau sekadar bersenda gurau sembari bertukar shift.
            Mbak, Mas, Ibu, Bapak penjaga shelter TJ depan Rumah Sakit Dokter YAP beserta sopir dan keneknya. Kemudian penumpang TJ yang saban hari mengambil rute yang sama dengan saya.
            Mas penjaga counter pulsa persis di utara portable Trans Jogja di Jalan Kaliurang yang jadi langgangan tiap kali pulsa sekarat.
            Pak penjaga parkir fotokopian di perjalanan menuju rumah sehabis turun di portable yang selalu senyum ketika saya lewat.
            Mas penjaga parkir supermarket yang berdandan layaknya rocker berambut gimbal, mengenakan kacamata hitam, dan aksesori perak imitasi. Masih di perjalanan saya menuju rumah.
            Belum warung-warung, counter pulsa yang lain, toko kelontong, rental komik dan DVD, dan jajana kaki lima yang rutin saya satroni sejak bertahun-tahun lalu.
            Kemudian Mas-mas kosan di rumah dan beberapa tetangga baru –yang sudah tinggal lumayan lama-.
            Siapa nama Masnya Mbaknya Ibunya Bapaknya?
            Siapa namanya?
            Iseng saya bertanya kepada tujuh orang Mbak-Mas yang saat itu kebetulan sedang menunggu bis Trans Jogja.
            “Mbak kalo nunggu biasanya sambil ngapain?”
            Tak usah dijawabpun sebenarnya pertanyaan saya sudah terjawab melihat benda 3,5 inchi yang digenggam di tangan.
            “Sambil chatting, atau iseng buka internet aja biar nggak bosen” Jawab Mas-mas berparas cina yang lupa saya tanya siapa namanya. Jawaban yang hampir sama saya temui ketika saya bertanya pada teman saya. Pun ketika saya mempertanyakan diri saya sendiri. Sambil mbaca e-book di HP.
            Sudah jadi reflek kini, ketika menunggu atau tidak ada teman yang nyaman untuk diajak ngobrol. Saku dirogoh. Gadget di keluarkan. Tunyuk sana tunyuk sini, sekejap rasa nyaman itu datang. Adem ayem dengan kesibukan bergadget. Lebih mudah dilakukan ketimbang mengajak ngobrol orang di dekat kita yang sama-sama menunggu, sama-sama sendiri untuk mengisi waktu. Modal nyali dan pita suara doang, tanpa batere, tanpa pulsa. Hemat lah!
            Beda banget sama Mbah Kakung di Blitar yang sekarang banyak di rumah karena sakit. Beliau selalu mengajak bicara siapapun dimanapun.
            “Ndaleme pundi Mas?”
            “karo sopo neng kene?”
            “Mbaknya kuliah atau SMA?”
            Satu pertanyaan yang berujung rentetan cerita kaya informasi. Dengan duduk di sebelah Mbah Kakung saya jadi tahu ternyata Mbak Mahasiswa A rantau dari kota C ke Blitar liburan di rumah saudara D yang ternyata si D tetangga kakaknya Mbah Kakung. Saking humblenya, beliau hafal tukang becak se Blitar. Paling tidak selama saya pergi dengan Mbah Kakung, tiap kali berjumpa tukang becak beliau selalu tahu namanya.
            Perilaku ini menurun ke Ibu. Saya ingat ketika pergi dengan Ibu, diperjalanan jauh misalnya. Di bis, di travel… lalu di kereta ekonomi. Ketika itu belum tertata seperti sekarang. Pedagang, pengamen bebas sliweran dan kereta diisi bahkan sampai di atapnya. Sepertinya reflek seperti ini butuh upaya keras untuk turun ke generasi-generasi berikutnya yang semakin acuh tak acuh.
            Belajarlah jadi jurnalis dari Mbah Kakung, dari Ibu, dari orang-orang yang cukup peduli untuk sekedar ngobrol sama orang disampingnya.
Seseorang di kepala berbisik. Cukup keras untuk menohok saya.

            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar