Dalam batas-batas yang
tak terlihat manusia sebetulnya saling terhubung satu sama lain. Disadari atau
tidak. Sekecil apapun dia bersentuhan dengan garis kehidupan kita. Apalagi di
zaman serba canggih seperti sekarang. Teknologi transportasi dan komunikasi
menghubungkan kita dengan bermiliaran orang yang dahulu kita pikir tidak
mungkin kita kenal. Lewat jejaring sosial menyentuh berbagai jenis orang di belahan
dunia berbeda, di zona waktu yang saling berlainan satu sama lain, di saat yang
bersamaan. Sekali klik di keyword pencarian menghubungkan kita dengan ratusan
ribu referensi.
“Di
Eropa perjalanan wisata tanpa HP dan alat elektronik sekarang sedang gencar
lho. Malah harganya jauh lebih mahal dengan paket-paket wisata yang lain.
Padahal mung kon ndelekke HP wae,”
Ucapan Bapak waktu melihat saya dan
adik asik dengan gadget kami masing-masing tanpa saling mengobrol satu sama
lain dalam waktu yang lama itu terngiang. Saya diam lalu saya pertanyakan pada
diri saya sendiri. Coba merunut aktifitas harian dan orang-orang yang saya
temui ketika melakukan aktifitas tersebut.
Pak Satpam yang setiap senin sampai
sabtu siap sedia berjaga di pos satpam sekolah. Pun di hari Minggu, tanggal
merah, dan libur semester. Oke. Saya tahu beberapa namanya. Beberapa.
Pak polisi di perempatan gramedia di
perjalanan ke shelter TJ. Selalu siap sedia di depan kantornya ketika saya
jalan menyeberangi zebracross. Matanya awas mengamati pengendara. Entah mencari
pelanggar, mengatur lalu lintas, menderek mobil, atau sekadar bersenda gurau
sembari bertukar shift.
Mbak, Mas, Ibu, Bapak penjaga
shelter TJ depan Rumah Sakit Dokter YAP beserta sopir dan keneknya. Kemudian
penumpang TJ yang saban hari mengambil rute yang sama dengan saya.
Mas penjaga counter pulsa persis di
utara portable Trans Jogja di Jalan Kaliurang yang jadi langgangan tiap kali
pulsa sekarat.
Pak penjaga parkir fotokopian di
perjalanan menuju rumah sehabis turun di portable yang selalu senyum ketika
saya lewat.
Mas penjaga parkir supermarket yang
berdandan layaknya rocker berambut gimbal, mengenakan kacamata hitam, dan aksesori
perak imitasi. Masih di perjalanan saya menuju rumah.
Belum warung-warung, counter pulsa
yang lain, toko kelontong, rental komik dan DVD, dan jajana kaki lima yang
rutin saya satroni sejak bertahun-tahun lalu.
Kemudian Mas-mas kosan di rumah dan
beberapa tetangga baru –yang sudah tinggal lumayan lama-.
Siapa nama Masnya Mbaknya Ibunya
Bapaknya?
Siapa namanya?
Iseng saya bertanya kepada tujuh
orang Mbak-Mas yang saat itu kebetulan sedang menunggu bis Trans Jogja.
“Mbak
kalo nunggu biasanya sambil ngapain?”
Tak usah dijawabpun sebenarnya
pertanyaan saya sudah terjawab melihat benda 3,5 inchi yang digenggam di
tangan.
“Sambil
chatting, atau iseng buka internet aja biar nggak bosen” Jawab Mas-mas
berparas cina yang lupa saya tanya siapa namanya. Jawaban yang hampir sama saya
temui ketika saya bertanya pada teman saya. Pun ketika saya mempertanyakan diri
saya sendiri. Sambil mbaca e-book di HP.
Sudah jadi reflek kini, ketika
menunggu atau tidak ada teman yang nyaman untuk diajak ngobrol. Saku dirogoh.
Gadget di keluarkan. Tunyuk sana tunyuk sini, sekejap rasa nyaman itu datang.
Adem ayem dengan kesibukan bergadget. Lebih mudah dilakukan ketimbang mengajak
ngobrol orang di dekat kita yang sama-sama menunggu, sama-sama sendiri untuk
mengisi waktu. Modal nyali dan pita suara doang, tanpa batere, tanpa pulsa. Hemat
lah!
Beda banget sama Mbah Kakung di
Blitar yang sekarang banyak di rumah karena sakit. Beliau selalu mengajak
bicara siapapun dimanapun.
“Ndaleme
pundi Mas?”
“karo
sopo neng kene?”
“Mbaknya
kuliah atau SMA?”
Satu pertanyaan yang berujung
rentetan cerita kaya informasi. Dengan duduk di sebelah Mbah Kakung saya jadi
tahu ternyata Mbak Mahasiswa A rantau dari kota C ke Blitar liburan di rumah
saudara D yang ternyata si D tetangga kakaknya Mbah Kakung. Saking humblenya, beliau hafal tukang becak se
Blitar. Paling tidak selama saya pergi dengan Mbah Kakung, tiap kali berjumpa
tukang becak beliau selalu tahu namanya.
Perilaku ini menurun ke Ibu. Saya
ingat ketika pergi dengan Ibu, diperjalanan jauh misalnya. Di bis, di travel…
lalu di kereta ekonomi. Ketika itu belum tertata seperti sekarang. Pedagang,
pengamen bebas sliweran dan kereta diisi bahkan sampai di atapnya. Sepertinya
reflek seperti ini butuh upaya keras untuk turun ke generasi-generasi
berikutnya yang semakin acuh tak acuh.
Belajarlah
jadi jurnalis dari Mbah Kakung, dari Ibu, dari orang-orang yang cukup peduli
untuk sekedar ngobrol sama orang disampingnya.
Seseorang di kepala berbisik.
Cukup keras untuk menohok saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar