Minggu, 18 Januari 2015

Bukan Pitik Angkrem

“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. (Mama, 84)” ― Pramoedya Ananta Toer, Child of All Nations
Induk ayam saja butuh waktu dua puluh satu hari kali dua puluh empat jam nonstop mengeram agar telur-telurnya bisa menetas. Itupun tak semuanya bisa sempurna menetas. Kadang seekor anaknya mati, bahkan tak sempat jadi menetas sudah game.
Oi, lantas tulisan seperti apa yang kau harapkan menetas dalam dua puluh satu harimu?
Belum kau hitung abstain menulis beberapa hari itu. Bayangkan jikalau kau induk Ayam. Sekejap saja kau tinggal, hancur sudah!
Jangan ngeles padaku soal mengkristalkan niat atau apalah itu. Kau dan mulut manismu sudah macam politikus saja. Jangan kau pikir aku tak rasakan apa yang kau rasa.
Bilang malas saja susahnya satu lingkaran keliling bumi sendiri!
Ini kuberikan kata-kata penyemangat untukmu.
Ingat! Bukan aku sok so sweet, bukan aku perhatian,
takut dosa aku menyimpan mutiara berharga ini seorang diri. Jangan salah paham, ini bukan kalimatku, jadi jangan terlalu kau puja puji diriku.

1. Kau merasa diri kau pengecut? Tak berani mengacungkan tangan duluan kalau ada pertanyaan yang butuh jawaban? Sulit mengaku salah? Ragu-ragu melangkah?
Kau pakai saja tangan kau untuk menulis.
Karena...

“Menulis adalah sebuah keberanian…” ― Pramoedya Ananta Toer
 
Jadi sering-sering saja kau menulis biar makin berani jadi orang.

2. Kau merasa kurang famous? *Buat apa juga kau cari terkenal dihadapan sesama makhluk fana hah?* Bukan pelajar jogja ganteng, pelajar jogja cantik dan bukan IGers? Alah, gituan aja kau pikir!

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
– Pramoedya Ananta Toer

Berbahagialah kau yang menulis.

Tulis sajalah. Jangan kau bilang menetas kalau kau belum melampaui gigihnya ayam mengeram.
Setahuku belum ada sih orang yang sanggup menulis dua puluh satu hari kali dua puluh empat jam penuh. Bahkan tak pernah pula kusengar orang-orang kenamaan dunia berbicara yang dilakukannya sudah berakhir. Menetas begitu saja lalu sudah.
Tidak kawan,
jalan ini masih butuh perjuangan panjang.
Sabarlah. Manisnya akan kau kecup belakagan.

“Menulislah sedari SD, apa pun yang ditulis sedari SD pasti jadi.” ― Pramoedya Ananta Toer

Dendangkan Saja Kawan

"Menjadi tua adalah takdir tetapi menjadi dewasa adalah pilihan."

Sebagaimana menjaga semangat dan antusiasme tetap bergelora. Seperti anak kecil yang amat ekspresif dan jujur akan ambisinya yang seringkali dinilai remeh oleh orang dewasa disekitarnya. Hari ini sekali lagi Tuhan membuat saya merasakan momen itu. Kecil tapi besar dampaknya.

*

Kawan, jadi anak negeri ini memang tidak gampang. Di tengah carut marut teknologi salah tempat, degradasi moral, krisis keteladanan para pemimpin, sampai PHP sistem pendidikan yang dari sononya emang labil.
Kawan, seorang guru saya bilang. Katanya orang di barat sana punya apresiasi yang tinggi. Jelekpun mereka puji!
"Oh, it's good."
"Das ist gut."
Bandingkan dengan orang kita yang lebih suka main kritik dan membahas kejeleka orang dibanding kelebihannya.
Aduh! Betapa rumitnya! Gini salah gitu salah!
Tahu apa orang-orang itu main komentar, tahu apa para pemuka itu main ambil kebijakan atas nama kami, tapi batang hidungnya sekalipun tak pernah nongol barang hanya mengendus keluhan kami!
Tak butuh janji muluk,
jaminan sistem pendidikan paling mutakhir
atau si yang terhormat datang kepada kami.
Sesungguhnya Bapak,
sesungguhnya Ibu,
kami cuma butuh sedikit berita baik
dan sedikit harapan.

*

Kawan, hari ini kami sekelas mencoba kembali. Kembali ke masa ketika segalanya masih amat indah untuk jiwa kami berkembang. Menghidupkan semboyan sekolah sebagai tama bermain yang hilang seiring semakin tinggi jenjang umur dan pendidikan. Masa bodoh dengan mereka di atas!
Kawan, hari ini kami sekelas punya hari baru dalam seminggu. Hari bekal namanya. Selepas pelajaran olahraga kami seret pantat kami duduk di taman bundar depan koperasik.
Kawan, lihatlah kotak bekal dan botol aneka warna itu. Coba kau tengok menunya. Nugget, perkedel, pecel, nasi gorengm, apel, roti maryam...
Aih sedapnya.
Dua buah gitar dan sebuah kajon pun ada.
Tidakkah mengingatkanmu akan suatu masa dalam kenangan masa kecilmu?
Tukaran bekal dan menyanyi riang yag kami sebut piknik di tengah KBM kelas.
Kawan, ayo berkonspirasi bilang masa bodoh sama kebobrokan yang bakal diwariskan ke kita kelak. Tak perlu kau ucapkan. Tunjukkan saja pada mereka dunia kita yang indah, sederhana, jujur, lugas dan penuh harapan ini.
Peduli amat kalau mereka cuma lihat noraknya tindakan kita. Paling tidak kawan, kita sudah mencoba. Lihat hanya dengan mata, atau melihat lebih dari mata dapat memandang. Terserah. Asal jangan biarkan sempitnya pandangan mereka mempengaruhi kita.

Jogjakarta, 14 Januari 2015
KBM jam ke 4 dan 5
repost line saya~
Ditulis di bis dalam perjalanan menimba ilmu ke Surabaya bersama kawa-kawan MPK-OSIS Padmanaba pada malam di hari yang sama.

Rabu, 07 Januari 2015

~

"Kusaksikan bias cahaya yang suaranya mengguntur
menyentuh dinding-dinding tinggi kerajaanku. Masa kini berganti."


-Lint

Dendang Kita Semua

"Poro kanca dolanan neng njaba
Padang bulan padange kaya rina...."

            Lagi-lagi tembang itu. Di bawah sinar purnama belasan bocah cilik menyanyi gembira dalam sebuah lingkaran kebersamaan. Derai tawa dan senyum mewarnai bibir mungil mereka. Asih tersenyum melihat tingkah bocah-bocah cilik itu. Mengingatkan ia akan masa kecilnya dulu. Asih menengadahkan kepala. Purnama bersinar terang malam ini.
            Walau hanya sekejap, dapat melenyapkan rasa gundahnya akan banyak hal. Akan susahnya mencari uang, akan sedihnya putus sekolah dan akan-akan yang lain. Dan bocah-bocah di hadapannya ini kelak harus menanggung masalah yang sama berat dengannya. Miris hati Asih memikirkannya.
            "Asih!" seseorang memanggilnya. Asih mengerutkan keningnya. Heran.
            "Kamu harus ikut aku!" lanjut orang itu. Menggandeng tangan Asih tak sabaran.
            Berdua mereka menyusuri gang demi gang di pemukiman padat nan kumuh tempat mereka dibesarkan. Di pertigaan terakhir Asih melihat kerumunan orang di depan sebuah rumah. Rumah Asih. Asih menerobos kerumunan. Ia mendapati ibunya terbujur kaku bersimbah darah. Kecelakaan. Tadi sore. Selongsong peluru kaliber 50 menganga di jantung. 
             "Emaaaaaakkkk!!!!" Teriak Asih. Sedih, kaget, marah dan berbagai emosi bercampur jadi satu dalam batinnya.
Sementara itu dari sebuah bangunan seorang pria setengah baya tersenyum menyaksikan semua itu. Di tangannya tergenggam script. "DENDANG KITA SEMUA"

Melukis Indonesia

Indonesia...
Dalam lautan jiwa kau digagas
Dalam duka penuh derita kau di bela
Dalam jiwa yang teraniaya kau di bangun

Indonesia...
Demi kebebasan kau diperjuangkan
Demi setetes asa kau di asah
Demi ratusan juta jiwa kau disokong

Walau malam menjadi kelam
Siang menjadi gersang dan
sore menoreh duka
tegak berdiri para pejuangmu membela
Busungkan dada rentangkan tangan melukismu...
Masa depan Indonesia...
Ratusan, ribuan, bahkan jutaan jiwa gugur demi melukismu, Indonesia

Kini.....
Kuas dan juga cat yang sama di kedua belah tangan para manusia pelukismu...
Penerus gugur para pahlawan...
Pejuang muda dalam angan...
Generasi depan...

Akan kau lukis seperti apa Indonesia?
Gambar tak bermoral wujud korupsi?
Tulisan jahat bernama penindasan?
Tinta hitam pembawa kemiskinan?
atau
Bunga besar keindahan?
Pelangi elok bernama sejahtera?
lalu... tinta emas bertulis "Indonesia Jaya"?

Indonesia...
Dulu mereka melukismu
Kini kami melukismu
Nanti "mereka" melukismu

INDONESIA.......                 

Alam Manusia

Tempias hujan kolong langit luruh basahi ibu pertiwi
Percikkan lagi nyawa kehidupan,
Terbitkan lagi kuntum senyum kuncup merekah,
Bantai kegersangan alam manusia...

Sementara berpasang mata taruna bangsa...
Turut larut dalam seremoni alam
Melalui berpuluh kaca bening jauh menatap horizon
Larut dalam angan arungi nun jauh di sana samudra mimpi
Sejenak lupakan problematika hidup,
Yang terkadang membebani...Penuh ego dan ambisi
Perselisihan, adu urat sana-sini dan tangis menyayat penderitaan
Dalam alam manusia berselimut nafsu...

Seringkali terlupa kenikmatan yang tuhan berikan
Sungguh betapa nikmat hidup dari-Nya adalah keajaiban
Sungguh betapa disetiap tarikan nafas ini adalah mukjizat-Nya

Dalam diam aku tercenung...Betapa banyak nikmat dari-Nya yang tersiakan
Mata untuk kami melihat... melihat yang indah-indah bukan yang jorok apalagi pornografi
Hidung untuk kami mencium...mencium nikmat-Nya bukan mencium kotornya alam manusia
Mulut untuk kami berbicara...berbicara yang baik bukan berkata kotor apalagi bergunjing
Telinga untuk kami mendengar...mendengar yang berfaedah bukan gosip kacangan
Otak untuk kami berfikir...berfikir untuk menjadi pintar yang bermanfaat bagi pembangunan bukan penghancuran
Dan tubuh untuk kami berbuat...berbuat baik, menolong sesama hiup, dan mempersiapkan diri membangun masyarakat,
Bukan malah membunuh, menyiksa dan mengadili semena-mena...

Jeritan Sunyi

Hatiku memendam kata-kata yang tak bisa terkatakan. Aku hanya menutup rapat laci keberadaannya. Menguncinya jauh di dalam palung hati yang tak terjamah. Lalu diam-diam aku dorong laci itu ke ambang ada dan tiada.
Untaian kata itu ganas. Menggelegak panas, menyayat kilat bahkan meradiasikan euforia semu. Sudah tak ada lagi bedanya dengan api dalam sekam yang hanya terlihat tenang dari luarnya saja.
Tolong!


Minggu, 04 Januari 2015

Penumpang Harus Sabar

Bis berwarna hijau yang saban hari mengitari jogja tanpa henti. Walaupun kini tiketnya sudah naik dari Rp 3.000,00 menjadi Rp 4.000,00 sekali naik. Siapa orang Jogja yang tak kenal dengan moda transportasi umum punya Jogja ini? Apalagi kalau bukan Trans Jogja.
Karyawan Trans Jogja dibagi menjadi dua yakni sopir dan kernet di bis dan petugas di shelter yang mana keduanya tidak berhubungan dalam organisasi kerjanya. Hanya saja di lapangan interaksi langsung itu terjadi.
Adalah Mbak Evi Wijayanti karyawan Trans Jogja yang saban hari bertugas di shelter Trans Jogja. Umurnya 23 tahun, lulusan SMK perhotelan ini sudah sejak 2011 bekerja di Shelter Trans Jogja. Penjaga shelter bergiliran ber


Saya dan Mbak Evi. Selfie di TJ-an sambil nungguin bis jalur 3B yang -selalu- lama datangnya.
suka nggak sabaran Mbak. Tiap semenit tanya,"Yang suka geli sendiri itu penumpang yangMbak masih lama ya? Habis dijawab nggak lama kemudian temennya tanya. Saya kadang bingung harus jawab apa. Penumpang maunya dijawab bentar lagi sampe. Tapi ya gimana lagi Mbak kalo emang macet. Apalagi jalur 3B. Tapi kalau saya jawab masih lama kok ya nggak nglegani penumpang. Saya kan jadi bingung." tutur wanita asli Jogja yag tinggal di wilayah Demangan itu.jaga di pos yang berbeda yang dibagi menjadi dua shift. Shift pertama pukul 5.30-14.30 WIB. Shift kedua pukul 14.30-21.30 WIB.

"Saya pesan penumpang harus sabar."

*Mbak Evi adalah salah satu karyawan yang sering saya jumpai di shelter TJ Dr. YAP langganan sepulang sekolah

Dapet Beasiswa, Kuliah disambi Kerja

Kuliah dengan dibiayai beasiswa, mencoba mandiri dan tidak mengandalkan kiriman uang dari orang tua meskipun jauh di perantauan. Alternatifnya yaitu nyambi kerja. Salah satu dari mahasiswa itu adalah Mas Nanang S. Mahasiswa yang memutuskan merantau ke Jogja setelah diterima di kampus biru Universitas Gadjah Mada.
Stand MTV tampak sisi depan
Mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis jurusan Manajemen ini sudah setengah tahun lebih berjualan di kompleks kuliner jalan kaliurang km. 5. Lokasinya yang hanya berjarak kurang lebih lima ratus meter dari kampus menjadi nilai plus baginya. Mas Nanang berjualan MTV alias Mendoan Tempe Variasi. Di sana berbagai olahan tempe mendoan mulai dari yang original, mendoan pasta, mendoan burger, mendoan sandwich sampai mendoan labil. Mengisi waktu luangnya dengan kegiatan produktif daripada nongkrong-nongkrong seperti kebanyakan teman lainnya. 
"Hidup itu seperti sungai. Kita nggak akan dapat hal yang sama. Makaya sebisa mungkin, mumpung masih ada waktu jadilah manusia yag produktif." Tutur
Mas Nanang sedang sibuk melayani pesanan yang datang berturut-turut

mahasiswa asal Kuningan itu kepada penulis. Menitipkan pesannya buat para mahasiswa dan pelajar lain yang ingin coba bekerja sembari bersekolah.



Mendoan pasta dan mendoan original yang selalu saya pesan tiap kali mampir

*Profil pertama ini adalah penjual Mendoan langganan saya. Enak dan murah, insyaallah sehat. Hangat gurih bersaus apalagi dinikmati ketika malam hari #promo

Strangers-> Somebody -> Someone

Lima profil strangers pertama saya adalah anak-anak muda yang saya temui di kehidupan sehari-hari saya. Hanya butuh sedikit niat untuk bertanya nama, sekolah, dan pembicaraan mengalir untuk cukup mengenal. Bukan percakapan dibuat-buat yang modusnya kelihatan banget buat ngejar setoran *yang ini curhat*
Pengalaman nanyain orang straight to the point ke list pertanyaan tanpa disamarkan percakapan kemudian dua orang yang saya wawancarai lari. Bener-bener lari kayak di kejar anjing. Dalam waktu beberapa detik dua orang cewek itu udah hilang dari pandangan saya.
Okay....

MUKADIMMAH


Dalam batas-batas yang tak terlihat manusia sebetulnya saling terhubung satu sama lain. Disadari atau tidak. Sekecil apapun dia bersentuhan dengan garis kehidupan kita. Apalagi di zaman serba canggih seperti sekarang. Teknologi transportasi dan komunikasi menghubungkan kita dengan bermiliaran orang yang dahulu kita pikir tidak mungkin kita kenal. Lewat jejaring sosial menyentuh berbagai jenis orang di belahan dunia berbeda, di zona waktu yang saling berlainan satu sama lain, di saat yang bersamaan. Sekali klik di keyword pencarian menghubungkan kita dengan ratusan ribu referensi.
            “Di Eropa perjalanan wisata tanpa HP dan alat elektronik sekarang sedang gencar lho. Malah harganya jauh lebih mahal dengan paket-paket wisata yang lain. Padahal mung kon ndelekke HP wae,”
            Ucapan Bapak waktu melihat saya dan adik asik dengan gadget kami masing-masing tanpa saling mengobrol satu sama lain dalam waktu yang lama itu terngiang. Saya diam lalu saya pertanyakan pada diri saya sendiri. Coba merunut aktifitas harian dan orang-orang yang saya temui ketika melakukan aktifitas tersebut.
            Pak Satpam yang setiap senin sampai sabtu siap sedia berjaga di pos satpam sekolah. Pun di hari Minggu, tanggal merah, dan libur semester. Oke. Saya tahu beberapa namanya. Beberapa.
            Pak polisi di perempatan gramedia di perjalanan ke shelter TJ. Selalu siap sedia di depan kantornya ketika saya jalan menyeberangi zebracross. Matanya awas mengamati pengendara. Entah mencari pelanggar, mengatur lalu lintas, menderek mobil, atau sekadar bersenda gurau sembari bertukar shift.
            Mbak, Mas, Ibu, Bapak penjaga shelter TJ depan Rumah Sakit Dokter YAP beserta sopir dan keneknya. Kemudian penumpang TJ yang saban hari mengambil rute yang sama dengan saya.
            Mas penjaga counter pulsa persis di utara portable Trans Jogja di Jalan Kaliurang yang jadi langgangan tiap kali pulsa sekarat.
            Pak penjaga parkir fotokopian di perjalanan menuju rumah sehabis turun di portable yang selalu senyum ketika saya lewat.
            Mas penjaga parkir supermarket yang berdandan layaknya rocker berambut gimbal, mengenakan kacamata hitam, dan aksesori perak imitasi. Masih di perjalanan saya menuju rumah.
            Belum warung-warung, counter pulsa yang lain, toko kelontong, rental komik dan DVD, dan jajana kaki lima yang rutin saya satroni sejak bertahun-tahun lalu.
            Kemudian Mas-mas kosan di rumah dan beberapa tetangga baru –yang sudah tinggal lumayan lama-.
            Siapa nama Masnya Mbaknya Ibunya Bapaknya?
            Siapa namanya?
            Iseng saya bertanya kepada tujuh orang Mbak-Mas yang saat itu kebetulan sedang menunggu bis Trans Jogja.
            “Mbak kalo nunggu biasanya sambil ngapain?”
            Tak usah dijawabpun sebenarnya pertanyaan saya sudah terjawab melihat benda 3,5 inchi yang digenggam di tangan.
            “Sambil chatting, atau iseng buka internet aja biar nggak bosen” Jawab Mas-mas berparas cina yang lupa saya tanya siapa namanya. Jawaban yang hampir sama saya temui ketika saya bertanya pada teman saya. Pun ketika saya mempertanyakan diri saya sendiri. Sambil mbaca e-book di HP.
            Sudah jadi reflek kini, ketika menunggu atau tidak ada teman yang nyaman untuk diajak ngobrol. Saku dirogoh. Gadget di keluarkan. Tunyuk sana tunyuk sini, sekejap rasa nyaman itu datang. Adem ayem dengan kesibukan bergadget. Lebih mudah dilakukan ketimbang mengajak ngobrol orang di dekat kita yang sama-sama menunggu, sama-sama sendiri untuk mengisi waktu. Modal nyali dan pita suara doang, tanpa batere, tanpa pulsa. Hemat lah!
            Beda banget sama Mbah Kakung di Blitar yang sekarang banyak di rumah karena sakit. Beliau selalu mengajak bicara siapapun dimanapun.
            “Ndaleme pundi Mas?”
            “karo sopo neng kene?”
            “Mbaknya kuliah atau SMA?”
            Satu pertanyaan yang berujung rentetan cerita kaya informasi. Dengan duduk di sebelah Mbah Kakung saya jadi tahu ternyata Mbak Mahasiswa A rantau dari kota C ke Blitar liburan di rumah saudara D yang ternyata si D tetangga kakaknya Mbah Kakung. Saking humblenya, beliau hafal tukang becak se Blitar. Paling tidak selama saya pergi dengan Mbah Kakung, tiap kali berjumpa tukang becak beliau selalu tahu namanya.
            Perilaku ini menurun ke Ibu. Saya ingat ketika pergi dengan Ibu, diperjalanan jauh misalnya. Di bis, di travel… lalu di kereta ekonomi. Ketika itu belum tertata seperti sekarang. Pedagang, pengamen bebas sliweran dan kereta diisi bahkan sampai di atapnya. Sepertinya reflek seperti ini butuh upaya keras untuk turun ke generasi-generasi berikutnya yang semakin acuh tak acuh.
            Belajarlah jadi jurnalis dari Mbah Kakung, dari Ibu, dari orang-orang yang cukup peduli untuk sekedar ngobrol sama orang disampingnya.
Seseorang di kepala berbisik. Cukup keras untuk menohok saya.

            

SEBELUM MUKADIMMAH

Kata pengantar nggak penting setelah tiga hari berturut-turut nggak nge-post tulisan. Oke, jadi ini udah hari minggu tanggal 4 Januari 2015. Satu hari setelah deadline tulisan profil remaja dan saya bahkan belum nge-post satupun. Still nulis, potret sana-sini, sama nge note tapi entah kenapa mager buat nge-post... Desperate sama liburan yang bentar lagi habis *bedewe besok udah masuk* tapi selama liburan masih bolak-balik ke sekolah buat macem-macem *iya, macem-macem sama kamu #sekolah* saya memutuskan untuk truly berpetualang (baca: kelayapan). *Ampuni saya dunia dan seisinya*

-Keliling-keliling nggak jelas pake motor yang udah sebulanan ini diisi pertamax (udah bukan premium).
-Sepedaan sampe kejebak macet dan nyalip-nyalip di antara kendaraan bermotor yang memadati Jogja. Yang satu ini recommended buat dicoba. Sensasi ketika semua kendaraan stuck nggak gerak sedikitpun di jalan raya tapi saya dengan jumawa masih bisa nyari celah bahkan ngangkat sepeda buat nembus kemacetan. Cakep nggak sih?
-Lagi-lagi mampir ke museum Ullen Sentalu. Masuk sambil nenteng kamera, mochi beli di mbak-mbak pasar dan botol aqua 500 ml padahal udah tau di dalem nggak boleh ngambil foto, makan, dan minum.
-Makan sate hati sapi 5 tusuk, dan gajih sapi 40 tusuk yang satunya berharga Rp. 500,00 maghrib-maghrib di pasar Kota Gedhe. Persis di sebelah pohon beringin ditemani semangkuk ronde karena yang jual sebelahan.
-Ke pasar induk Giwangan yang baru buka sore dan rame menjelang malem. Nongkrongin truk-truk yang baru aja dateng dari Banyuwangi, Magelang, Wonosobo, dan kota-kota lainnya.
-Sampe ikut Dauroh Pelajar yang diadaain MAJEEDR Reporter Dawah di Syuhada. Langsung ngerasa missplace di pandangan pertama begitu masuk ketika ruangan dipenuhi akhwat-akhwat berkerudung lebar, rok anggun, dan wajah bersinar. Saya dengan gembelnya dateng pake kaos lengan pendek punya Bapak yang dijaketin sama training. Rebel urakan bener deh.

Jadi manusia primitif selama 3 hari nonstop dengan nggak buka laptop dan HP (yang ini nyaris).Tapi tetep ngapelin *bukan ngepelin* sekolah. Tetep jogging aras-arasen. Tetep latihan Perisai Diri tiap hari (kejurnas makin dekat vroh). 
Oh hidup memang harus terus berjalan. Roda waktu akan terus berputar, dan besok tetap harus masuk sekolah… *kemudian hening* Selamat menikmati catatan perjalanan tiga hari kemarin kaya ada yang mau baca aja


Lintang, 17 Tahun
OTW punya SIM

Pelajar yang masih nggak ikhlas besok udah masuk sekolah

Emping, Kucing, dan Puzzle Tiga Dimensi

Kres … kres … kres
Haup!
Kres … kres … kres
Haup!
Renyah suara emping melinjo sejak lima belas menit lalu berkumandang dari mulut Jono yang tidak berhenti bergerilya. Sambil nongkrong bareng sobatnya di bangku pinggir lapangan basket, satu toples ludes sudah. Jono memang doyan banget makan emping melinjo. Pagi, siang, sore, malam, dimanapun Jono berada, makanan krispi satu itu selalu ada di dekatnya. Seperti kata pepatah: Ada gula ada semut. Ada Jono ada emping.
Entah berapa toples yang bisa dihabiskan Jono dalam sehari. Itu sih hanya Jono dan Tuhan yang tahu. Tentu saja Jono nggak kesulitan re-stock makanan kesukaannya itu. Ibunya kan produsen emping melinjo paling besar se-kota Gono-Gini.
Sayang seribu sayang, Jhenny pacarnya empeth banget sama makanan satu itu. Pada dasarnya cewek peranakan Kebumen-Padang ini emang nggak suka segala jenis makanan yang ‘kriuk-kriuk’. “Remah-remahnya itu loh,” kalau mbayangin ceceran reremahnya, doski suka geli sendiri. Gatel mbayanginnya. Satu lagi, segala jenis makanan yang bisa menimbulkan asam urat selalu dihindarinya. Kalau bisa sejauh mungkin. Dan Emping melinjo genap memenuhi pra-syarat sebuah makanan yang memiliki faktor kuadrat untuk ia benci.
Daripada buang-buang waktu mikirin kebiasaan pacarnya yang nggak banget itu, Jhenny lebih suka menghabiskan waktu dengan Ussy. Si kucing anggora putih kesayangannya. Kecuali saat Jhenny sekolah atau nganterin Mama check up, Ussy hampir selalu dibawanya kemanapun. Termasuk waktu malem mingguan atau hangout bareng Jono. Terutama ding. Hihihi.
Padahal Jono paling illfeel sama mamalia satu itu. Jono suka geli ngelihat bulu kucing. Apalagi kucing anggora Jhenny yang bulunya udah kayak karpetnya aladdin (kayak Jono tau aja tebelnya karpet Aladdin, hehe). Lebat padat tebal. Iiiihhh!
Gimana kalau bulunya kotor?
Gimana kalau ada kutunya?
Gimana kalu dibulunya banyak virus terus gue jadi sakit
Gimana kali dia kencing sembarangan
Dan sejuta gimana-gimana yang lain.
Kalau sudah begini biasanya Jhenny cuma bisa merengut kesal sambil ngelus-ngelus Ussy yang menatap Jono sama garangnya dengan si nona.
“Dasar cowok asam urat!” dan Jhennypun berlalu meninggalkan Jono. Yang ditinggal malah tenang-tenang saja ngeluarin setoples emping melinjo dari tas. Sekali lagi, rencana kencan manis romantis Jono-Jhennypun gagal maning!
*
Tiga bulan sudah Jono dan Jhenny pacaran dan nggak ada yang berubah. Perseteruan terus saja menyertai dinamika pacaran mereka. Pokoknya tiada hari ketemuan tanpa berantem deh! Kayak tsunami yang nggak mungkin nggak nyentuh daratan, imbas perseteruan ini kenanya selalu ke Jimmy.
Namanya Jimmy. Cukup Jimmy aja nggak pake embel-embel. Cowok bermuka tirus yang punya tinggi rata-rata pemain Major League itu merangkap kacung sahabat Jono dan sepupu Jhenny. Hobinya online di Omegle buat nyari cewek seksi yang mau diajak skype-an temen baru dari berbagai belahan dunia sambil ndengerin live streamingan radio amatir yang sehari 24 jam penyiarnya cuma betah ngoceh satu jam maksimal.
Ping …
Ping …
Dua pesan masuk secara bersamaan
ke layar laptop apel krowaknya.
Jim! Gue sebel banget sama Jono! Tiap jalan sama gue dia selalu aja bawa makanan yang bikin asam urat itu. Ih, gue kan nggak suka. Baunya, ceceran remahnya, trus suara kras kresnya itu bikin gue sebel!
Jim! Gue enggak suka sama kelakuannya Jhenny! Dia itu sebenernya niat mau pacaran sama gue apa sama Ussy sih? Sebel gue! Kemanapun gue sama Jhenny jalan, tuh kucing delapan juta pasti ikut. Jhenny kan tahu gue allergic to bullshit ndeket-ndeket mahkluk satu itu.
Satu dari Jhenny dan satu dari Jono. Tuhkan bener. Apa gue tebak.
Jimmy sampai hafal luar kepala. Pokoknya kalau ada dua pesan masuk secara nyaris atau emang bersamaan pasti ulah dua orang kampret itu. Delapan bulan sohib sama sepupunya itu jadian, maka selama itu pula kehidupan Jimmy nggak tenang. Tidak hanya pesan, kalau duo Kucing VS Emping itu habis meet up, biasanya sih yang dateng ke Jimmy telepon atau orangnya langsung.
Ujung-ujungnya curhat mengalir. Yang satu sambil ngelus-elus kucing yang satu sambil makan emping. Mana nggak bagi-bagi lagi! Dipikir gue tong sampah apa?
Saking enggak tahannya, Jimmy suka kepikiran buat pura-pura lupa ingatan tiap kali ngeliat Jono atau Jhenny udah nyandar cantik di pintu kamarnya.
“Hah elo siapa?”
“Gue siapa?”
“Kita dimana?”
Ya semacam itu deh.
Sampai hari kemarin Jimmy –walaupun depresi- masih bisa kalem dan stay cool menghadapi dua makhluk ajaib itu. Sekali lagi, sampai hari kemarin menunjukkan bentuk lampau.
Hari ini, secara tidak tiba-tiba –Iya. Jimmy udah hafal kapan- Jono dateng –kayak biasanya, curhat-. Naasnya toples kaca berisi separuh emping yang Jono bawa jatuh dan pecah menjadi ribuan keping. Oke, kalau pecah sih nggak masalah. Tapi…..
PRANG!
Jimmy menghela nafas. Masih menatap layar si apel krowak dan punggungnya membelakangi Jono. Posisi pewenya kalo Jono mampir buat curhat sambil mondar mandir makanin emping. Lho makan nggak sambil duduk tuh? Biar tu emping dimakan setan. Rutuk Jimmy dalam hati setelah capek nasehatin Jono.
“Sono ke dapur ambil sapu. Bersihin cepet. Gue nggak mau tahu.” Jimmy masih asik menatap layar laptop. Fokus chattingan. Masa bodoh sama Jono. Entah kali keberapa toplesnya pecah bulan ini.
Hello
Hi
ASL?
18/F/UK you?
Yes! Dapet cewe nih, Jimmy mbatin.
19/M/INA
U alone?
“Jim, sori ya gue..” Jono mendekat ke arah Jimmy. Nepuk-nepuk pundaknya.
Yes. What bout u?
“Iye udah biasa kok.” Jimmy cuma njawab sambil lalu. Masih asik ngerespon chat cewek strangers di layar elektroniknya.
Kik?
Jimmy mengerutkan keningnya. Sial, Kik gue baru aja uninstall nih.
Don’t have 
Ok, no problem.
“Alhamdulillaaaahhh. Makasih ya Jim. Lu emang sohib gue….
How bout Skype?
“….nggak salah emang curhat….. mampir rumah lo…. Pahlawan gue…” Jimmy udah masa bodoh aja sama Jono yang ngoceh tanpa henti.
Video call ok?
 “Emang elo sahabat gue yang paling baik.”
Ok
Jimmy nyengir mupeng.
“Iyya, gue emang sahabat paling baik.”
This is my skype, man. Add me soon. Jimmy senyum sumrigah sambil nyalain video call. Sambil nunggu sambungan Jimmy iseng mengamati foto profil cewek yang namanya Marleene itu. Rambutnya pirang booo. Cantik abis deh.
“Meskipun puzzle 3D lo udah gue ancurin…”
Yes! Tersambung. Tinggal nunggu lima detik lagi  lagi wajah Marleene akan muncul di layar.
5
“Iyya. Meskipun puzzle gue udah lo ancurin, gue tetep…”
4
3
2
“APA? LO NGAPAIN PUZZLE 3D GUE??!”
Nggak usah disuruh dan tanpa babibu Jono tau diri buru-buru langsung ngacir habis selesai mberesin pecahan toples sambil merutuki kesialannya. Meninggalkan Jimmy yang meratapi puzzle dan temen skypenya yag langsung nge-block dia begitu koneksi tersambung. Lima ribu keping puzzle seukuran memory card kamera digital hadiah ulang tahun dari mantan calon pacar boo. Puzzle itu butuh waktu tiga tahun buat selesai pasca ditolak si cewek. Naasnya itu puzzle selesai persis di tanggal yag sama waktu Jimmy ditolak. Entah Jono harus senang atau sedih udah ngancurin puzzle itu.
            Malamnya saat Jhenny mampir, tumpukan keping puzzle itu malah dijadikan sarana penggati pasir pup sama Ussy. PUP coy! P-U-P! Si kucing, dengan lagak tanpa dosanya, melenggang santai di depan Jimmy. Untung Jhenny cepat tanggap sigap nyambar Ussy sebelum Jimmy tendang.
            Gimana kalo kalian putus aja…
            Gimana kalo kalian putus aja…
            Kalimat yang mati-matian Jimmy simpen di otak itu akhirnya keluar juga dalam bentuk SMS kolektif. Berlari dari satu tower ke tower lain kemudian naik beribu-ribu kilometer menyentuh satelit nun jauh di ruang angkasa lalu menukik ke bawah, melesat laksana kilat menampilkan nyala sinyal di layar 3,5 inchi Jono dan Jhenny.

Bersambung…