Jumat, 26 Juni 2015

PK (2014)

RESENSI: FILM
PK (2014)

Siapakah Tuhan itu?

Pernahkah walau hanya sekejap selama hidupmu ini engkau mempertanyakan hadir-Nya? Dan kenapa pula manusia beragama? Hari ini, kita dibesarkan dalam keluarga beragama. Sejak lahir nilai-nilai agama itu telah ditanamkan. Beribadah kita lakukan begitu kita sudah dapat melakukannya.
Sholat
Puasa
Berdo’a
Kebaktian gereja
Samadhi
Begitu alamiahnya berjalan. Sampai beberapa dari kita kadang terlupa, untuk siapa dan untuk apa kita beribadah. Film ini sedikit banyak memberi pencerahan tentang hakikat keberadaan Tuhan dan bagaimana agama yang katanya jalan menuju perdamaian itu dipenuhi oleh intrik dan perseteruan, baik bagi umat agamanya sendiri, maupun umat agama yang lain. Seperti halnya konflik pembakaran masjid ketika umat muslim sedang melaksanakan sholat idul fitri di papua yang baru-baru ini terjadi yang konon merupakan ulah umat kristiani.
Seiring berjalannya film ini, Anda akan temukan jawaban yang mungkin selama ini anda cari.

Sinopsis
Cerita ini bermula ketika seorang alien yang seiring berjalannya cerita mempunyai nama bumi PK (Pheekay: Mabuk.red) datang ke bumi. Ia datang ke bumi mewakili kaum planetnya untuk meneliti kehidupan di bumi. Naas, tak lama setelah PK tiba di bumi, tepatnya di kota Mandawa India,  kalung communicatornya dicuri. Tanpa kalung itu, ia tak bisa memanggil pesawat jemputan untuk membawanya pulang ke planet asalnya. Maka dimulailah perjalanan PK mencari kalungnya.
 Berkat seorang teman yang ia kenal selama mencari kalungnya di bumi, ia tahu bahwa kalung itu telah dijual ke New Delhi. Sesampainya di New Delhi, PK menanyai semua orang yang ia tahu. Namun jawaban yang ia terima selalu sama.
“Barangnya dicuri di Mandawa, dan kau mencarinya di Delhi? Ada dua juta penduduk di sini. Polisi itu manusia bukan tuhan.”
“Hanya Tuhan yang bisa menolongmu.”
“Yakinlah pada Tuhan. Dialah yang bisa menolongmu.”
“Hanya Tuhan yang tahu. Bagaimana kami bisa?”
“Hanya Tuhan yang tahu, pergilah!”
“Percayalah pada Tuhan Nak”
Siapa sih Tuhan? Kenapa semua orang menyebut-nyebut hanya Tuhan yang tahu dimana kalungku? Pikir PK. 
Maka dari sinilah perjalanannya mencari Tuhan (Bhagwaan. India.Red) dimulai.
Ia sama sekali tidak tahu tentang Tuhan dan cara menemui Tuhan. Maka ia mulai bertanya pada semua orang. Di sini kebingungan mulai melanda PK yang tidak punya agama dan bingung bagaimana caranya memutuskan agamanya apa? Maka semua rumah Tuhan ia singgahi satu persatu.
Mulai dari kuil,
masjid,
hingga gereja







berikut ibadahnya ia ikuti.
Takdir kemudian membawanya bertemu dengan Jagat Janani (Jaggu) wanita yang baru saja pulang dari Belgia setelah mengalami patah hati. Meneruskan perjalanannya mencari Tuhan, bersama Jaggu yang seorang wartawan, kini PK menyeret lebih banyak orang terlibat dalam pertanyaan besarnya akan Tuhan. Dan tiba-tiba seluruh dunia terlibat …

Saya Setelah Menonton…
Film berdurasi 2,5 jam ini worth it banget untuk ditonton. Trust me you will love this film so much!
Hal yang menarik dari film ini, kontradiksi umat beragama disuguhkan dengan kritis melalui cara yang lucu dan tidak menyinggung maupun provokatif. Pemilihan peran PK sebagai tokoh utama sekaligus sudut pandang cerita juga amat jenius.
Melalui kacamata PK kita dibawa keluar dari kotak-kotak agama kita masing-masing. Mengajak kita mempertanyakan hal yang sebelumnya kita lakukan saja tanpa berpikir dan sekadar rutinitas belaka. Mengosongkan kepala kita dan mulai memposisikan diri seperti PK yang tidak tahu apa-apa. Tanpa dibatasi judgment agama masing-masing, kita diajak melihat agama dan tuhan dengan lebih universal dan kritis.
Berikut ini adalah salah satu dialog favorit saya, ketika PK putus asa mencari siapa Tuhan.
Aku sangat bingung Tuhan, aku pasti melakukan kesalahan yang membuat-Mu tak mendengarku. Kumohon katakan. Tunjukkan aku jalannya. Kumohon….
Aku sudah meminta dan memohon pada-Mu.
Aku sudah bersujud.
Aku sudah ke kuil.
Aku sudah bicara melalui pengeras suara.
Aku sudah membaca kitab Ghita. Al Qur’an. Dan Bible.
Pemuka agama-Mu yang beragam mengatakan hal yang berbeda satu sama lain.
Ada yang bilang beribadah di hari Minggu, ada yang bilang di hari Selasa.
Ada yang bilang sebelum matahari terbit, ada yang bilang setelahnya.
Ada yang memuja sapi, ada yang mengurbankannya.
Ada yang ke kuil tanpa sepatu, ada yang ke gereja pakai sepatu.
Manakah yang salah dan yang benar? Aku tak mengerti.
Datanglah Tuhan.
Overall, film ini mengajarkan kepada kita setiap umat beragama untuk menjadi lebih open minded, mempelajari lagi seperti apa agama kita sebenarnya dan sikap tidak gampang saling menyalahkan alias toleransi.

Plus Minus Keluarga Linus
Berhubung topiknya agak sensitif juga –agama.red- jadi tetep harus pinter nge-filter.  Ps: Saya juga enggak tahu sih kenapa topik agama amat sangat sensitif –gampang memicu reaksi.red- yang ujug-ujungnya perseteruan, konflik, bacok-bacokan, bunuh-bunuhan *ekstrim garis kolot*.
Karena setting filmnya di India, latar Hindhunya memang jadi lebih kuat dibanding agama yang lain. Nilai-nilai Islam *berhubung saya muslim* di sini kurang digali dalam dan tidak begitu mencerminkan Islam yang saya kenal *sekali lagi, saya kenal*.
Misalnya dalam kolase hubungan asmara antara Jagat Janani (Jaggu) dan Sarfaaraz Yusuf ya ampun aktornya cakep banget booooo. Di kisahkan Jaggu beragama Hindhu dan Sarfaaraz berasal dari keluarga muslim Pakistan.
Wala takrabul zina! *tereak pake toa tetangga*
Mbak Mas aurotnya dikondisikan
            Di scene ini sebenernya cuma adegan nyanyi-nyanyi gitu. Tapi mereka berdua entah kenapa udah ada di balkon apartemen gitu. Mana si Jaggu cuma pake atasan dan celana dalem celana super pendek dan Sarfaaraz cuma pakai celana jeans. Sisanya topless. Ya ampun ini mah nikmat dunia zina mata buat para cewek. Bukan aurat sih tapi, orang aurat cowok dalam islam dari pusar sampai lutut doang. Tapi yaaa badannya itu lho hot banget agak terlalu terbuka menurut adat ketimuran bikin berimajinasi yang nggak-nggak aja. 
Tangannya dikondisikan dong Mas Sarfaaraz
Perlu ditekankan, yang tidak sesuai orangnya bukan agamanya #notedgariskeras
Kisah yang inspiratif ini diperkuat dengan alur cerita yang anti mainstream diselingi humor segar yang bikin ngakak tapi ada juga adegan sedih yang bikin mewek bikin film ini kelihatan banget khas India. Belum lagi adegan musikal –nyanyi sambil nari ala film india- bikin saya sukses jejingkrakan ikut goyang.
Salah satu faktor kunci film ini ada di paragraf prolognya juga menurut saya. Adegan prolognya dimana PK datang ke bumi agak panjang dan membosankan menurut saya. Tapi paragraf pengantarnya so anti mainstream dan menarik jadi saya bertahan tetap nonton.

“Kau tahu berapa banyak bintang di langit? Pernahkah kau mencoba menghitungnya?
Jika kau menghitungnya, ada sekitar 6.000 milyar setidaknya. Itupun hanya di galaksi kita.
Dan ada berapa banyak galaksi? Ilmuwan mengatakan ada sekitar  2 milyar galaksi atau lebih. Karena itu, bagaimana jika seandainya dalam planet-planet itu ada yang berpenghuni. Sama seperti kita.Dan sama seperti kita ke bulan dan mars, mereka juga mencari kita dan datang kemari.-Paragraf pengantar prolog kedatangan PK-
Performance
Dibintangi oleh Aamir Khan aka PK/Pheekay
As known as a multitalented actor, script writer, producer and sutradara.

Nggak asing lagi lah sama aktor yang satu ini. Doski sudah banyak main di banyak film yang hampir kesemuanya best movie. Pokoknya daftar film dan penghargaan Bang Aamir ini banyak banget lah. Bakal nggak selesai sehari semalem kalau dijabarin. Pokoknya dia juga main di Taare Zamen Paar dan 3 Idiots (buat lu lu yang ngaku suka nonton film, sumpah lu cupu banget dan nggak pantes memanggakan diri kalau belum nonton 3 Idiots. Ini film mega hits best movie nya India yang dijuluki Film Paling Bagus Sepanjang Masa)

 Anushka Sharma aka Jagat Janani/Jaggu

Just one word: Beautiful.

Awalnya waktu ngelihat filmnya, saya sempat mengira ini aktris peranakan blasteran India-Eropa gara-gara di film rambutnya di potong pendek. Pixie cut dan dicat brunnette. Kesannya jadi agak-agak european. Tapi setelah dilihat lagi doski tulen India kok.

And the Last but not least
Sebelumnya maaf karena saya males tidak sanggup mencari semua nama pemainnya. Mungkin lain waktu. Saya hanya akan berhenti di tokoh ketiga ini. Dia adalah…


SUSHANT

 SINGH RAJPUT


Sushant Singh Rajput aka Sarfaaraz Yusuf
Wkwk *ceritanya udah pilih kasih dari awal*

Ini salah satu aktor favorit saya yang banting setir dari Engineering ke dunia seri peran.
Udah ganteng pake banget, jago akting suaranya bagus pula.Cinta dah!


Mas, gantengnya tolong dikondisikan. *Fangirl syndrome kumat*

Multi talented actor yang satu ini juga banjir tawaran film, series, model, dkk.
Sering juga dapet penghargaan. Pokoknya apapun itu yang berhubungan dengan ‘best’ dan ‘favorite’ di hampir setiap kategori dia menang, minimal yang mana ini jarang banget karena lebih sering menang dinominasiin.

Salah satu aktor dengan body postur paling bagus juga #nggakpenting #fangirlaja


Sayang udah punya tunangan



Kamis, 25 Juni 2015

Jiwa

Jiwanya sudah hancur. Keping-keping jiwa itu terserak tajam melukai sendi-sendi hidupnya tanpa terkecuali. Bagai duri yang menancap, awalnya terasa sakit. Tak terperi sampai ia rasanya ingin mati saja. Bertahun luka itu memaksanya meraung dan menjerit. Menghiba seseorang untuk mencabut keping-duri, menyembuhkan sakit dan menutup luka-luka itu. Siang dan malam tiada pernah terputus hingga suaranya hilang ditelan angin. Luka itu masih menganga. Begitu lama hingga ia tak lagi merasakan sakitnya. Mati rasa.
Semarak pesta tidak lagi menimbulkan gelak tawa dan kebahagiaan. Pun begitu medan perang laksana panggung opera yang membisu baginya. Dunia berputar lambat dalam bingkai hitam dan putih. Tanpa warna dan emosi.

Jiwanya mati. Mati dan membusuk bersama jasad Cersei. Calon Permaisurinya.

Berlagak Jomblo

Bilang jomblo aja susahnya kok minta ampun sih? Renai mengerutkan keningnya. Tak habis pikir sama sobat-sobatnya yang mengecam kejombloan mereka sebagai nasib buruk yang harus di usir. Pergi jauh-jauh dari hidup mereka kalau perlu.
Tambah heran lagi kalau manusia-manusia abnormal itu nggigitin taplak meja makan kantin bebarengan pas ngelihat Janitra –si cewek hits, model majalah Maniz, adik kelas mereka- jalan ke sana kemari ngintil Boiyan kemanapun cowok itu pergi.
Boiyan?
Iyaa. Si pangeran paling tampan se SMA Para-para, cowok idola semua umat. Udah bodinya maco kayak Rain-Bee, kulitnya kuning langsat semi coklat terbakar matahari, bola matanya coklat muda, kalau senyum.. Duh mana ada yang nahan dikasih gigi sekinclong pepsodent bonus double lesung pipit model gitu.
“Iiihhh genit banget sih si Janitra!” Caron meremas Bakpao di tangannya gemas.
“Iyaaa! Ya ampun, lagaknya itu loh! Nempelin Boiyan mulu. Dasar cewek sok kecantikan,” timpal Meike yang disambut gerutuan pelan Ciku.
“Emang cantikkan?” Acuh tak acuh Renai tetep asik menyantap Mie Ayam Bakso porsi jumbo plus pangsit isi abon kesukaannya. Kontan Caron, Meike dan Ciku mendelik. Heran sama ke ethelan sobatnya yang emang terkenal cuek-cuek aja walau misalnya tornado bakal menyapu SMA Para-para sepuluh detik lagi. Mau tak mau takjub sama porsi makan kulinya. Ngalah-ngalahin porsi makan cowok-cowok klub Silat yang abis dapet hell training.
“Dasar payah.” Lama-lama Ciku sebel juga. “Nggak bosen apa tiap hari berempat gini? Gersang tau, apa lagi ngeliatin oasis yang cuma fatamorgana.” Pandangan mata Meike, Caron dan Ciku otomatis tertumbuk pada Boiyan. Berusaha seacuh mungkin dengan kehadiran Janitra di sampingnya.
Mau nggak mau Renai ketawa juga ngelihat temen-temennya. Antara sedih, prihatin dan… geli. Bikin nggak enak hati mau ngomong. Batinnya.
“Cik cik!” Meike tiba-tiba menyikut Ciku. Yang disikut kaget bukan main sampe nggak sengaja nyenggol gelas minum Caron yang isinya masih tiga perempat gelas. Sukses tumpah, nyipratin baju Renai.”
“Hei!” Kontan semua noleh ke arah Meike. Meike sendiri bukannya minta maaf malah kaku madep depan. Telunjuknya udah kayak orang lagi tahiyat akhir. Nunjuk-nunjuk diiringi mulutnya komat kamit.
“Itu… itu…” Ini orang belagak gagap atau gimana sih? Batin Caron mengikuti arah telunjuk Meike.
Sekarang giliran Caron yang mangap. Bengong kayak orang mupeng.
Renai dan Meike kontan menoleh menyaksikan dua sohibnya yang tingkahnya udah kayak kesihir Uya Koya.
“Ini bukan mimpikan?” Bisik Ciku.
Layaknya adegan-adegan mainstream ala drama korea, Boiyan berjalan dengan mode slow motion. Cahaya-cahaya silau membingkai sosoknya. Angin berhembus sepoi-sepoi dan daun kering berjatuhan.
“Dia jalan ke arah kita Cikk!” Meike memekik senang.
“Aduh-aduh, muka minyakan gini,”  Caron tiba-kontan mencari-cari tisu.
Begitu Boiyan berdiri satu meter di hadapan mereka yang cuma dijarakin meja kantin, semua kontan menelan ludah. Glek. Nikmat dunia dah ini.
“Hai say, udah selesai makannya?” Boiyan tersenyum.
Lho perasaan cuma pesen minum deh.
Ke kantin juga cuma nongkrong, nggak makan.
Lho yang makan kan di sini cuma…
“RENAAI??”

Jumat, 19 Juni 2015

Bakar


Teriakan itu terus bergema dalam kepalanya. Berat. Pusing. Panas.  Aku tidak sanggup lagi. Batinnya. Ia terus menjambaki rambutnya. Putus asa itu datang secara perlahan tapi pasti. Hingga tiba di satu titik akal sehatnya tidak dapat berfungsi lagi.
Sudah! Bakar saja aku.

Ia berteriak, kali ini dengan nada memohon. Orang di depannya tersenyum. Memantik api yang sedari tadi ia gantungkan dekat di wajah sang korban.

Kamis, 18 Juni 2015

Pertemuan


Pernah kau rasakan pertemuan seperti hari ini?
“Hai, bolehkah aku meminta waktumu sebentar?” aku memutar mata diam-diam, memilih tetap menunduk. Sibuk berkutat dengan modul pelajaran tahun terakhir sambil meneruskan berjalan. Langkah kaki itu terdengar lagi. Dua langkah di belakangku.
“5 menit saja,” tawar suara itu diiringi sumpah serapah yang kusimpan dalam hati. Menyesali keputusanku melintasi jalanan kota yang padat di jam makan siang seperti ini.
“Ayolah tolong dengarkan sebentar..” tap. Tap. Tap. Masa bodoh.
“Halo Nona?” Tap. Tap. Tidakkah ia melihat? Aku sedang sibuk.
“Tolong dengarkan sebentar saja.” Tap. Keras kepala. Aku tidak punya waktu untuk melayani promosi sales di pinggir jalan.
“Maaf Tuan, aku sedang sibuk!” Aku membalikkan badan tiba-tiba. Orang itu mundur selangkah terkejut. Mataku bertemu matanya.
“Halo Nona, maaf-”
Ia seumuran denganku. Ada lambang Teratai putih di saku kemeja satu lengan yang ia kenakan. Lambang itu… Padma Academy. Sekolah pinggiran tempat orang-orang buangan. Kabarnya sekolah itu suka membuat keributan.
“Ayolah, bicara sebentar denganku. Lima belas menit saja.” Rupanya ia belum menyerah. Aku menggeleng pelan. Mengamati penampilannya sekali lagi.
“Ah, tidak lima menit saja.” Tawarnya.
Tindik berlapis di daun telinga…
“Oke, bagaimana kalau satu menit?”
tato naga di lengan kanan dan… seragam macam apa itu?
“Kalau kau benar-benar tidak ada waktu cukup dengarkan aku tiga puluh detik saja. Oke? Hei-”
Orang ini berbahaya.Semacam penguntit mungkin. Putusku sambil mulai berlari. Mengacuhkan permintaannya.
“Tungguuu!” Aku menoleh ke belakang sambil terus berlari. Tidak, ia mengejarku.
“Toloongggg!!” Aku mulai berteriak. Tidak melihat polisi tidur yang dengan manis menyandung kaki. Badanku terlempar setengah meter ke depan. Aku menutup mataku. Bersiap menghantam aspal. Tapi tidak. Dua belah lengan menangkap tubuhku dengan sigap. Aku membuka mata perlahan. Penolongku tersenyum. Dandanannya adalah dandanan seorang wanita. Tapi badannya adalah badan seorang pria. Apakah ia…
“Isabella!” Penolongku menoleh pada pria yang mengejarku tadi.
“Oi, apa yang kau lakukan Rei?”
“Aku hanya tidak mau ia melarikan diri.” Jawab pria penguntit bernama Rei itu. Pandanganku berkunang-kunang. Tanah seperti berputar. Pucuk gedung perkantoran menyatu dengan langit membentuk lingkaran yang saling bersambungan. Kemudian semuanya menjadi putih.
Anemia. Aku sudah terjaga bermalam-malam mengkhawatirkan tentang ujian akhir.
“Oi oi, apa yang terjadi?”
“Cepat bawa dia ke studio.” Sayup-sayup aku mendengar orang bernama Isabella dan si penguntit Rei itu bicara lalu semua hilang.
*
“Waaah, kau sudah sadar?” Gadis berkucir dua itu menunduk ke arahku begitu aku membuka mata. Penampilannya seperti cosplayer lolita yang sering kulihat di pinggir jalan.
“Dimana ini? Siapa kau?” kontan aku terduduk. Rei dan Isabella juga ada, menatapku.
“Hai. Aku Sania Amara. Teman Rei dan Isabella. Kami murid akademi seni Padma. Ini studio kami.”
Aku mengernyit. “Studio?”
“Iya. Kami membuat pakaian bersama-sama.” Jawabnya sambil menunjuk gulungan kain di sudut ruangan dan mesin jahit serta manekin di sudut lainnya.
“Padma Academy?” Aku berdiri merapikan seragamku.
“Waah sekolah kami terkenal.” Sania tersenyum gembira.
“Tentu saja. Apa kubilang!” Pemuda bernama Rei itu menimpali. Bangga sepertinya. Aku mencibir.
“Tentu saja terkenal. Terkenal karena yang diterima orang-orang bodoh seperti kalian. Terkenal suka memukuli murid sekolah lain.”
“Aku tidak memukul, hanya mengikutimu.” Rei memotong ucapanku cepat. Hening. Sudahlah. Aku tidak peduli.
“Aku mau pulang. Terimakasih sudah merawatku.”  Ucapku basa-basi sambil beranjak meraih tasku dan berjalan ke arah pintu dengan papan kayu exit di atasnya.
“Tunggu Caroline!” aku membalikkan badan.
“Siapa yang kau maksud? Aku?”  Sania mengangguk.
“Kau belum mengatakan siapa namamu. Sebenarnya kami ingin menawarimu menjadi model kami di fashion show kelulusan kami di Padma Academy-“
“Wow wow wow, tunggu. Aku jadi model? Please, kalian bercanda. Maaf aku tidak punya waktu meladeni urusan tidak penting kalian dan baju-baju kalian. Dah.”
Tangan Rei tahu-tahu sudah mencekal pergelanganku. “Hei!” protesku.
“Tarik kembali kata-katamu.” Ucapnya dingin. Aku memutar mata. Enak saja.
“Apa perlunya?!” Aku berteriak. Menentangnya.
“Hey!” Ia berteriak. Cekalannya semakin kuat. Apa-apaan maunya orang ini?
Tiba-tiba pintu kayu itu terbuka. Seorang pria berdiri di sana. Mengenakan setelan jas hitam santai dan kemeja putih serta vedora hat hitam. Tangan kanannya menenteng sebuah gaun.
Ia tidak menatap ke manapun kecuali mataku. Aku terpaku.
Pernahkah kau bertemu dengan seseorang yang ‘menakutkan’? Sejak awal.. kau berpikir ‘orang ini membuatku takut’. Jika orang ini ada di sekitarku, dia akan menghancurkan hidupku. Salah satu orang yang kau tidak akan pernah tau apa yang akan mereka lalukan.
Pernahkah kau mengalami pertemuan seperti itu?

Karena aku baru saja mengalaminya.

"Setiap tetes tinta seorang penulis adalah darah bagi perubahan. Karenanya, perhatikanlah bagaimana ujung penamu bergerak."


-18 Januari 2015, di batas perantara malam-

Minggu, 18 Januari 2015

Bukan Pitik Angkrem

“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. (Mama, 84)” ― Pramoedya Ananta Toer, Child of All Nations
Induk ayam saja butuh waktu dua puluh satu hari kali dua puluh empat jam nonstop mengeram agar telur-telurnya bisa menetas. Itupun tak semuanya bisa sempurna menetas. Kadang seekor anaknya mati, bahkan tak sempat jadi menetas sudah game.
Oi, lantas tulisan seperti apa yang kau harapkan menetas dalam dua puluh satu harimu?
Belum kau hitung abstain menulis beberapa hari itu. Bayangkan jikalau kau induk Ayam. Sekejap saja kau tinggal, hancur sudah!
Jangan ngeles padaku soal mengkristalkan niat atau apalah itu. Kau dan mulut manismu sudah macam politikus saja. Jangan kau pikir aku tak rasakan apa yang kau rasa.
Bilang malas saja susahnya satu lingkaran keliling bumi sendiri!
Ini kuberikan kata-kata penyemangat untukmu.
Ingat! Bukan aku sok so sweet, bukan aku perhatian,
takut dosa aku menyimpan mutiara berharga ini seorang diri. Jangan salah paham, ini bukan kalimatku, jadi jangan terlalu kau puja puji diriku.

1. Kau merasa diri kau pengecut? Tak berani mengacungkan tangan duluan kalau ada pertanyaan yang butuh jawaban? Sulit mengaku salah? Ragu-ragu melangkah?
Kau pakai saja tangan kau untuk menulis.
Karena...

“Menulis adalah sebuah keberanian…” ― Pramoedya Ananta Toer
 
Jadi sering-sering saja kau menulis biar makin berani jadi orang.

2. Kau merasa kurang famous? *Buat apa juga kau cari terkenal dihadapan sesama makhluk fana hah?* Bukan pelajar jogja ganteng, pelajar jogja cantik dan bukan IGers? Alah, gituan aja kau pikir!

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
– Pramoedya Ananta Toer

Berbahagialah kau yang menulis.

Tulis sajalah. Jangan kau bilang menetas kalau kau belum melampaui gigihnya ayam mengeram.
Setahuku belum ada sih orang yang sanggup menulis dua puluh satu hari kali dua puluh empat jam penuh. Bahkan tak pernah pula kusengar orang-orang kenamaan dunia berbicara yang dilakukannya sudah berakhir. Menetas begitu saja lalu sudah.
Tidak kawan,
jalan ini masih butuh perjuangan panjang.
Sabarlah. Manisnya akan kau kecup belakagan.

“Menulislah sedari SD, apa pun yang ditulis sedari SD pasti jadi.” ― Pramoedya Ananta Toer

Dendangkan Saja Kawan

"Menjadi tua adalah takdir tetapi menjadi dewasa adalah pilihan."

Sebagaimana menjaga semangat dan antusiasme tetap bergelora. Seperti anak kecil yang amat ekspresif dan jujur akan ambisinya yang seringkali dinilai remeh oleh orang dewasa disekitarnya. Hari ini sekali lagi Tuhan membuat saya merasakan momen itu. Kecil tapi besar dampaknya.

*

Kawan, jadi anak negeri ini memang tidak gampang. Di tengah carut marut teknologi salah tempat, degradasi moral, krisis keteladanan para pemimpin, sampai PHP sistem pendidikan yang dari sononya emang labil.
Kawan, seorang guru saya bilang. Katanya orang di barat sana punya apresiasi yang tinggi. Jelekpun mereka puji!
"Oh, it's good."
"Das ist gut."
Bandingkan dengan orang kita yang lebih suka main kritik dan membahas kejeleka orang dibanding kelebihannya.
Aduh! Betapa rumitnya! Gini salah gitu salah!
Tahu apa orang-orang itu main komentar, tahu apa para pemuka itu main ambil kebijakan atas nama kami, tapi batang hidungnya sekalipun tak pernah nongol barang hanya mengendus keluhan kami!
Tak butuh janji muluk,
jaminan sistem pendidikan paling mutakhir
atau si yang terhormat datang kepada kami.
Sesungguhnya Bapak,
sesungguhnya Ibu,
kami cuma butuh sedikit berita baik
dan sedikit harapan.

*

Kawan, hari ini kami sekelas mencoba kembali. Kembali ke masa ketika segalanya masih amat indah untuk jiwa kami berkembang. Menghidupkan semboyan sekolah sebagai tama bermain yang hilang seiring semakin tinggi jenjang umur dan pendidikan. Masa bodoh dengan mereka di atas!
Kawan, hari ini kami sekelas punya hari baru dalam seminggu. Hari bekal namanya. Selepas pelajaran olahraga kami seret pantat kami duduk di taman bundar depan koperasik.
Kawan, lihatlah kotak bekal dan botol aneka warna itu. Coba kau tengok menunya. Nugget, perkedel, pecel, nasi gorengm, apel, roti maryam...
Aih sedapnya.
Dua buah gitar dan sebuah kajon pun ada.
Tidakkah mengingatkanmu akan suatu masa dalam kenangan masa kecilmu?
Tukaran bekal dan menyanyi riang yag kami sebut piknik di tengah KBM kelas.
Kawan, ayo berkonspirasi bilang masa bodoh sama kebobrokan yang bakal diwariskan ke kita kelak. Tak perlu kau ucapkan. Tunjukkan saja pada mereka dunia kita yang indah, sederhana, jujur, lugas dan penuh harapan ini.
Peduli amat kalau mereka cuma lihat noraknya tindakan kita. Paling tidak kawan, kita sudah mencoba. Lihat hanya dengan mata, atau melihat lebih dari mata dapat memandang. Terserah. Asal jangan biarkan sempitnya pandangan mereka mempengaruhi kita.

Jogjakarta, 14 Januari 2015
KBM jam ke 4 dan 5
repost line saya~
Ditulis di bis dalam perjalanan menimba ilmu ke Surabaya bersama kawa-kawan MPK-OSIS Padmanaba pada malam di hari yang sama.

Rabu, 07 Januari 2015

~

"Kusaksikan bias cahaya yang suaranya mengguntur
menyentuh dinding-dinding tinggi kerajaanku. Masa kini berganti."


-Lint

Dendang Kita Semua

"Poro kanca dolanan neng njaba
Padang bulan padange kaya rina...."

            Lagi-lagi tembang itu. Di bawah sinar purnama belasan bocah cilik menyanyi gembira dalam sebuah lingkaran kebersamaan. Derai tawa dan senyum mewarnai bibir mungil mereka. Asih tersenyum melihat tingkah bocah-bocah cilik itu. Mengingatkan ia akan masa kecilnya dulu. Asih menengadahkan kepala. Purnama bersinar terang malam ini.
            Walau hanya sekejap, dapat melenyapkan rasa gundahnya akan banyak hal. Akan susahnya mencari uang, akan sedihnya putus sekolah dan akan-akan yang lain. Dan bocah-bocah di hadapannya ini kelak harus menanggung masalah yang sama berat dengannya. Miris hati Asih memikirkannya.
            "Asih!" seseorang memanggilnya. Asih mengerutkan keningnya. Heran.
            "Kamu harus ikut aku!" lanjut orang itu. Menggandeng tangan Asih tak sabaran.
            Berdua mereka menyusuri gang demi gang di pemukiman padat nan kumuh tempat mereka dibesarkan. Di pertigaan terakhir Asih melihat kerumunan orang di depan sebuah rumah. Rumah Asih. Asih menerobos kerumunan. Ia mendapati ibunya terbujur kaku bersimbah darah. Kecelakaan. Tadi sore. Selongsong peluru kaliber 50 menganga di jantung. 
             "Emaaaaaakkkk!!!!" Teriak Asih. Sedih, kaget, marah dan berbagai emosi bercampur jadi satu dalam batinnya.
Sementara itu dari sebuah bangunan seorang pria setengah baya tersenyum menyaksikan semua itu. Di tangannya tergenggam script. "DENDANG KITA SEMUA"

Melukis Indonesia

Indonesia...
Dalam lautan jiwa kau digagas
Dalam duka penuh derita kau di bela
Dalam jiwa yang teraniaya kau di bangun

Indonesia...
Demi kebebasan kau diperjuangkan
Demi setetes asa kau di asah
Demi ratusan juta jiwa kau disokong

Walau malam menjadi kelam
Siang menjadi gersang dan
sore menoreh duka
tegak berdiri para pejuangmu membela
Busungkan dada rentangkan tangan melukismu...
Masa depan Indonesia...
Ratusan, ribuan, bahkan jutaan jiwa gugur demi melukismu, Indonesia

Kini.....
Kuas dan juga cat yang sama di kedua belah tangan para manusia pelukismu...
Penerus gugur para pahlawan...
Pejuang muda dalam angan...
Generasi depan...

Akan kau lukis seperti apa Indonesia?
Gambar tak bermoral wujud korupsi?
Tulisan jahat bernama penindasan?
Tinta hitam pembawa kemiskinan?
atau
Bunga besar keindahan?
Pelangi elok bernama sejahtera?
lalu... tinta emas bertulis "Indonesia Jaya"?

Indonesia...
Dulu mereka melukismu
Kini kami melukismu
Nanti "mereka" melukismu

INDONESIA.......