Kamis, 18 Juni 2015

Pertemuan


Pernah kau rasakan pertemuan seperti hari ini?
“Hai, bolehkah aku meminta waktumu sebentar?” aku memutar mata diam-diam, memilih tetap menunduk. Sibuk berkutat dengan modul pelajaran tahun terakhir sambil meneruskan berjalan. Langkah kaki itu terdengar lagi. Dua langkah di belakangku.
“5 menit saja,” tawar suara itu diiringi sumpah serapah yang kusimpan dalam hati. Menyesali keputusanku melintasi jalanan kota yang padat di jam makan siang seperti ini.
“Ayolah tolong dengarkan sebentar..” tap. Tap. Tap. Masa bodoh.
“Halo Nona?” Tap. Tap. Tidakkah ia melihat? Aku sedang sibuk.
“Tolong dengarkan sebentar saja.” Tap. Keras kepala. Aku tidak punya waktu untuk melayani promosi sales di pinggir jalan.
“Maaf Tuan, aku sedang sibuk!” Aku membalikkan badan tiba-tiba. Orang itu mundur selangkah terkejut. Mataku bertemu matanya.
“Halo Nona, maaf-”
Ia seumuran denganku. Ada lambang Teratai putih di saku kemeja satu lengan yang ia kenakan. Lambang itu… Padma Academy. Sekolah pinggiran tempat orang-orang buangan. Kabarnya sekolah itu suka membuat keributan.
“Ayolah, bicara sebentar denganku. Lima belas menit saja.” Rupanya ia belum menyerah. Aku menggeleng pelan. Mengamati penampilannya sekali lagi.
“Ah, tidak lima menit saja.” Tawarnya.
Tindik berlapis di daun telinga…
“Oke, bagaimana kalau satu menit?”
tato naga di lengan kanan dan… seragam macam apa itu?
“Kalau kau benar-benar tidak ada waktu cukup dengarkan aku tiga puluh detik saja. Oke? Hei-”
Orang ini berbahaya.Semacam penguntit mungkin. Putusku sambil mulai berlari. Mengacuhkan permintaannya.
“Tungguuu!” Aku menoleh ke belakang sambil terus berlari. Tidak, ia mengejarku.
“Toloongggg!!” Aku mulai berteriak. Tidak melihat polisi tidur yang dengan manis menyandung kaki. Badanku terlempar setengah meter ke depan. Aku menutup mataku. Bersiap menghantam aspal. Tapi tidak. Dua belah lengan menangkap tubuhku dengan sigap. Aku membuka mata perlahan. Penolongku tersenyum. Dandanannya adalah dandanan seorang wanita. Tapi badannya adalah badan seorang pria. Apakah ia…
“Isabella!” Penolongku menoleh pada pria yang mengejarku tadi.
“Oi, apa yang kau lakukan Rei?”
“Aku hanya tidak mau ia melarikan diri.” Jawab pria penguntit bernama Rei itu. Pandanganku berkunang-kunang. Tanah seperti berputar. Pucuk gedung perkantoran menyatu dengan langit membentuk lingkaran yang saling bersambungan. Kemudian semuanya menjadi putih.
Anemia. Aku sudah terjaga bermalam-malam mengkhawatirkan tentang ujian akhir.
“Oi oi, apa yang terjadi?”
“Cepat bawa dia ke studio.” Sayup-sayup aku mendengar orang bernama Isabella dan si penguntit Rei itu bicara lalu semua hilang.
*
“Waaah, kau sudah sadar?” Gadis berkucir dua itu menunduk ke arahku begitu aku membuka mata. Penampilannya seperti cosplayer lolita yang sering kulihat di pinggir jalan.
“Dimana ini? Siapa kau?” kontan aku terduduk. Rei dan Isabella juga ada, menatapku.
“Hai. Aku Sania Amara. Teman Rei dan Isabella. Kami murid akademi seni Padma. Ini studio kami.”
Aku mengernyit. “Studio?”
“Iya. Kami membuat pakaian bersama-sama.” Jawabnya sambil menunjuk gulungan kain di sudut ruangan dan mesin jahit serta manekin di sudut lainnya.
“Padma Academy?” Aku berdiri merapikan seragamku.
“Waah sekolah kami terkenal.” Sania tersenyum gembira.
“Tentu saja. Apa kubilang!” Pemuda bernama Rei itu menimpali. Bangga sepertinya. Aku mencibir.
“Tentu saja terkenal. Terkenal karena yang diterima orang-orang bodoh seperti kalian. Terkenal suka memukuli murid sekolah lain.”
“Aku tidak memukul, hanya mengikutimu.” Rei memotong ucapanku cepat. Hening. Sudahlah. Aku tidak peduli.
“Aku mau pulang. Terimakasih sudah merawatku.”  Ucapku basa-basi sambil beranjak meraih tasku dan berjalan ke arah pintu dengan papan kayu exit di atasnya.
“Tunggu Caroline!” aku membalikkan badan.
“Siapa yang kau maksud? Aku?”  Sania mengangguk.
“Kau belum mengatakan siapa namamu. Sebenarnya kami ingin menawarimu menjadi model kami di fashion show kelulusan kami di Padma Academy-“
“Wow wow wow, tunggu. Aku jadi model? Please, kalian bercanda. Maaf aku tidak punya waktu meladeni urusan tidak penting kalian dan baju-baju kalian. Dah.”
Tangan Rei tahu-tahu sudah mencekal pergelanganku. “Hei!” protesku.
“Tarik kembali kata-katamu.” Ucapnya dingin. Aku memutar mata. Enak saja.
“Apa perlunya?!” Aku berteriak. Menentangnya.
“Hey!” Ia berteriak. Cekalannya semakin kuat. Apa-apaan maunya orang ini?
Tiba-tiba pintu kayu itu terbuka. Seorang pria berdiri di sana. Mengenakan setelan jas hitam santai dan kemeja putih serta vedora hat hitam. Tangan kanannya menenteng sebuah gaun.
Ia tidak menatap ke manapun kecuali mataku. Aku terpaku.
Pernahkah kau bertemu dengan seseorang yang ‘menakutkan’? Sejak awal.. kau berpikir ‘orang ini membuatku takut’. Jika orang ini ada di sekitarku, dia akan menghancurkan hidupku. Salah satu orang yang kau tidak akan pernah tau apa yang akan mereka lalukan.
Pernahkah kau mengalami pertemuan seperti itu?

Karena aku baru saja mengalaminya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar