Selasa, 30 Desember 2014

Harya Suraminata: Komik Indonesia itu Realis dan Nasionalis

Harya Suraminata: Komik Indonesia itu Realis dan Nasionalis

Apakah anda pernah membaca komik?
Kalau iya komik apakah yang pernah anda baca?
Kebanyakan dari kita sekarang amat familiar dengan komik Jepang (manga), Korea (Manhwa), dan Amerika (Comics). Dunia perkomikan Indonesia dewasa ini dibanjiri dengan komik Jepang. Boleh dikatakan ‘dimonopoli’. Hal ini dapat ditilik dari jumlah komik Jepang yang terbit setiap minggunya di Indonesia.
Tetapi tahukah anda bahwa komik lokal (cerita bergambar Indonesia) pernah sama jayanya dengan komik Jepang di masa sekarang?
Sepintas melihat fenomena manga yang akhir-akhir ini semakin gila membanjiri bumi nusantara, diikuti masuknya komik Korea sebagai ‘saingan tunggal’ Manga saya tergelitik untuk sejenak ‘kembali ke masa lalu’ menilik jaman kejayaan komik lokal. Apa pula yang melatarbelakangi surutnya kejayaan komik lokal di blantika negeri sendiri?
Nasib baik, Rabu petang lalu  saya berkesempatan berdiskusi langsung dengan salah satu komikus dan seniman kenamaan Indonesia, Harya Suraminata yang akrab disapa Hasmi. Karyanya yang paling melegenda adalah Gundala Putra Petir yang di buatnya antara 1969-1982 dengan total 23 judul buku seri. Untuk sekadar bernostalgia dan memberi gambaran mari kita simak sejenak cuplikan komik Gundala Putra Petir berikut:
“Seorang peneliti jenius bernama Sancaka menemukan serum anti petir. Tenggelam dalam ambisinya sebagai seorang ilmuwan, dia melupakan hari ulang tahun Minarti, kekasihnya, yang berakibat putusnya hubungan mereka. Sancaka yang patah hati berlari dengan hati galau di tengah hujan deras. Tiba-tiba sebuah petir menyambarnya. Dalam keadaan koma ia ditarik oleh suatu kekuatan dari planet lain dan diangkat anak oleh raja Kerajaan Petir yang bergelar Kaisar Kronz, sekaligus diberkati kemampuan super yaitu bisa memancarkan geledek dari telapak tangannya. Raja Taifun dari kerajaan Bayu memberinya kekuatan lari secepat angin.
Sejak itulah, pada waktu-waktu tertentu, ia tampil sebagai jagoan penumpas kejahatan berpakaian hitam ketat dengan sepatu dan cawat berwarna merah. Wajahnya tertutup topeng, hanya tampak mata dan mulutnya, di sisi topengnya terdapat hiasan seperti sayap burung. Ia adalah kawan mereka yang lemah dan musuh bagi para pencoleng.”
Singkat cerita Ba’dha Maghrib saya meluncur ke rumah Pak Hasmi dengan menggunakan sepeda motor. Rumahnya berada di Jalan Magelang KM. 4,5 Karangwaru Lor.  Setelah beberapa saat hanya berputar-putar di jalan, akhirnya saya bertemu Anggi, teman sekaligus putri sulung Pak Hasmi. Bersama kami melewati beberapa gang kecil untuk mencapai rumah Pak Hasmi.
Suasana tenang dan akrab langsung menyambut begitu pintu di buka. Pak Hasmi dan Bu Mujiwati istrinya muncul dari balik pintu, ramah sapaan menyambut saya.
Ditemani segelas sirup cocopandan dan sepiring martabak hangat, diskusi berjalan santai diselingi canda dan tawa.
Gundala: Orisinal dan Lucu
Dunia seni rupa akrab digeluti Pak Hasmi sejak bersekoh di bangku SMP 1 Bopkri Yogyakarta. Motivasinya untuk dapat berpenghasilan mandiri membawa beliau serius menggeluti dunia cerita bergambar.
Karir menggambar komiknya di mulai tahun 1968. Komik pertamanya yang terbit adalah Merayapi Telapak Hitam yang bergenre silat.
Atas permintaan pasar, terbitlah sebuah komik dengan tokoh utama bernama Maza yang merupakan perwujudan dari Tarzan dan Hercules.
Pada tahun 1966 rasa kreativitasnya tergugah untuk membuat sebuah tokoh komik baru. Bukan karena keinginan pasar, tapi sesuai dengan kehendak dan imajinasi pribadinya.
Maka tahun 1969 terbitlah komik Gundala Putra Petir sebagai perwujudan kreativitasnya itu.
Gundala tokoh ciptaan Pak Hasmi ini mendapat respon positif dari pasar. Sedikit demi sedikit Gundala mulai memiliki fans fanatik.
Hingga saat ini fans fanatik Gundala masih sering dijumpai. Kebanyakan mereka berkumpul dalam suatu komunitas regional pecinta komik lokal dan superhero yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia.
Jika ditanya apa alasan mereka menyukai Gundala alasannya cukup sederhana.
Orisinal dan Lucu.
Kesuksesan ini membawa Gundala naik ke dunia perfilman pada tahun 1982 dengan pemeran utama Teddy Purba.
Sempat muncul beberapa rumor bahwa Gundala akan di filmkan lagi hingga puncaknya pada tahun 2009 muncul suatu alamat website yang mengaku sebagai tim produksi film Gundala Putra Petir dan mengunggah naskah film serta proses produksinya.
Diyakini Pak Hasmi, itu hanyalah salah satu wujud kecintaan fans Gundala supaya Bumi Langit (pemegang hak cipta Gundala) lekas mem-filmkan Gundala.
Kabar baik bagi para penggemar sekaligus penikmat dunia hiburan lokal, pada tahun 2014 Gundala benar-benar akan difilmkan. Sebagaimana halnya dikonfirmasi oleh Pak Hasmi.
Mengapa Komik Lokal Susah Ditemukan?
Komik lokal berjaya di mulai sejak era R.A Kosasih (1953-1956). Industri komik lokal pada waktu itu berpusat di Bandung dan Jakarta. Memasuki tahun 1960 pusat komik lokal berpindah ke Medan dengan ciri khas kisah legenda dan cerita rakyatnya.
Barulah pada tahun 1969 komik dengan genre superhero bermunculan dipelopori Wid NS.
Banyak sekali komikus Indonesia bermunculan.
Jenis komik apapun laku keras pada saat itu.
Sayang masa keemasan ini tidak berlangsung lama. Dituturkan Pak Hasmi, pada tahun 1985 entah mengapa komikus dan penerbit mulai jarang menerbitkan buku. Sama halnya dengan Gundala yang ‘terpaksa’ dihentikan pembuatannya dengan menamatkan secara ‘paksa’ serial Gundala. Judul buku terakhir Gundala yang terbit berjudul Surat Dari Akherat.
Bertepatan dengan sepinya pergerakan komik lokal, komik Jepang mulai masuk ke Indonesia. Berbeda dengan komik Amerika yang lebih dulu masuk, komik Jepang mudah diterima karena bahasanya sudah di gubah ke bahasa Indonesia tidak dalam bahasa Jepang maupun Inggris.
Sejak saat itu dunia komik lokal tertidur pulas, masa jayanya digantikan dengan berkobarnya kejayaan komik Jepang.
“Salah satu alasan mengapa komik lokal susah bangkit dewasa ini, salah satunya adalah karena permintaan pasar yang minim dan tidak ada penerbit yang mau memfasilitasi anak muda untuk menerbitkan komik lokal.” Ungkap Pak Hasmi.
“Kalaupun ada peredarannyapun terbatas. Wajar kalau kalian susah mendapatkannya di toko buku sekarang.”

Ciri dan Identitas Komik Lokal
Lantas apa bedanya komi lokal dengan manga atau komik manca lainnya?
“Komik lokal itu bersifat realis dan sederhana. Maksudnya realis adalah dari segi penggambaran proporsi tubuhnya sesuai dengan manusia asli. Berbeda dengan manga yang tidak proporsional baik bentuk, ukuran maupun anatomi tubuhnya.”
Menurut Pak Hasmi, tidak semua komik yang di gambar oleh komikus Indonesia bisa disebut komik lokal.
Komik lokal adalah komik yang digambar dengan gaya lokal kita sendiri sedangkan komik yang di gambar dengan gaya manga atau comics meskipun ditulis dan digambar oleh orang Indonesia tetap disebut komik manca karena kiblatnya yang berasal dari luar itu sendiri.
“Semoga suatu saat nanti muncul tokoh Indonesia yang bisa mengembangkan gaya menggambar yang khas dan mendunia, menghidupkan lagi dunia perkomikan kita dan menjadikannya sebagai kiblat dunia komik lokal yang tidak kalah bagus dengan komik manca.” Harap Pak Hasmi.



1 komentar:

  1. boleh minta kontaknya anggi, anaknya pak hasmi? atau kontaknya pak hasmi jika ada?

    BalasHapus