Jam menunjukkan pukul 08.00 tepat pada hari Minggu ketika
kami sekeluarga berkumpul di meja makan. Ayah, Ibu, Karin, aku, dan kedua kakak
kembarku, Gilang dan Galih. Gilang lima menit lebih tua dari Galih.
Aku menyendokkan nasi dengan lahap. Sup asparagus saus
jagung, oseng-oseng jamur kancing, sweet potato dan jus jeruk. Tak ada menu
yang lebih enak dari menu bikinan Ibu!
“Jadi apa rencana kalian di Minggu yang cerah ini anak-anak?”
Ayah memulai percakapan. Kacamatanya yang longgar turun sepersekian senti
ketika dia menolehkan kepala ke arah Gilang.
Gilang hanya mengedikkan bahu. “Well, aku mau mengumpulkan
bahan untuk penelitianku.”
“Emang penelitian aneh apalagi yang kau lakukan Lang?”
Gilang, kakakku yang satu ini memang hobi berkecimpung di
dunia yang –menurutku- membosakan! Karya Ilmiah Remaja, Olimpiade Fisika dan
Matematika. Hobinya adalah bermain catur, scrabble, dan mahjong. Game
kesukaannya adalah minesweeper. Olahraga menurut Gilang bukanlah kegiatan yang
mengasah otot motorik seperti jogging, sepakbola, basket, atau renang. Olahraga
menurut Gilang adalah kegiatan mengasah otak. Semacam ngerjain latihan soal
matematikanya Sukino –manusia yang konsisten membuat soal matematika paling sulit
di jagad pelajar SMA-, tes logika, mengisi TTS, dan sudoku.
Kiprah akademis Gilang selalu membanggakan. Nggak diragukan
lagi, dialah calon profesor of Arts masa
depan. Namun, dalam hal berbau seni dan olah fisik, Gilang nggak ada bedanya
kayak balita yang baru belajar jalan. Aku yang gitaris band dan Galih yang
dancerpun pun tak mampu membantunya.
"Hmm sesuatu yang berkaitan dengan percepatan penguraian sampah non-organik."
"Bagaimana denganmu Galih?" Ayah tampaknya puas dan mengalihkam pertanyaan ke Galih. Kembaran Gilang yang beda jauh bumi dan langit.
Galih adalah kapten cheerleader di sekolahnya. Galih dan teman satu cheernya sudah banyak memenangkan berbagai kompetisi regional. Selain itu dia juga banyak menjuarai lomba tari tradisional maupun modern. Galih suka banget shopping dan rutin ke salon paling tidak satu minggu sekali. Selain itu dia adalah orang nomor satu pecinta kafe di rumah ini. Belajar adalah kegiatan yang paling membosankan baginya. Dalam hal ini kami berdua sama.
"Aku nggak kemana-mana hari ini. Hanya saja nanti malam Sean, Citra, dan aku akan merancang kostum cheer yang baru untuk perlombaan bulan depan."
"Kenapa tidak pagi ini sayang?" Ibu menimpali. Ibu memang nggak pernah suka anak-anak gadisnya pergi di malam hari.
"Nggak bisa Bu. Mereka sibuk seharian ini, sedangkan besok kami mulai fokus latihan koreo." Galih memberi alasan.
Dia bohong! Aku tahu itu. Subuh tadi ketika aku ke kamar Galih untuk meminjam rukuh kudapati sebuah kertas hijau berbordir lucu di atas meja belajarnya. Undangan pesta pukul tujuh malam ini.
Galih pasti datang ke pesta itu. Ia tahu Ibu nggak bakal memperbolehkannya datang ke pesta semacam itu. Makanya dia berbohong. Lagipula yang mengundang adalah Joe Tavits. Cowok indo yang ditaksir Galih. Kakak kelasku di Sonata School of Music. Cakep sih, tapi angkuh. Apa sih yag disukai Galih dari cowok satu itu?
"Bagaimana dengamu Meg?"
"Om Seno mengajakku melihat koleksi gitar di galerinya."
"Dasar anak band." cibir Karin.
"Biarin. Daripada kau, pengkhayal!"
"Aku penulis, bukan pengkhayal!"
"Kau pengkhayal yang bermimpi jadi penuliss" Aku menyeringai. Menantangnya berdebat. Karin mendelik sebal. Dia paling benci dikatai pengkhayal.
"Aku penulis. Penulis yang menuliskan khayalannya!" dia sudah siap memborbardirku dengan sejuta pertanyaan ketika Galih berseru,
"Sudah deh, apa bedanya sih?" memotong pertikaian.
"Tentu saja beda!"Karin berteriak marah. Berlalu meninggalkan meja makan. Bahkan seruan Ibupun tak digubris.
"Kenapa sih dia?" Gilang heran melihat adik bungsunya yang tidak biasa. "Hari ini tensinya tinggi banget."
"Gara-gara Alibaba."
"Apa?"
"Lupakan."
Diantara kami berempat, selain bungsu dia juga agak introvert. Dari dulu ia paling suka menyendiri membaca buku. Ketika aku, Gilang dan Galih bermain kejar-kejaran -biasanya Gilang selalu kalah- dia haya duduk sambil mengamati kami. Sesekali mencatat di notebook yang selalu di gantungkannya di leher.
Karin dengan khayalan liarnya mungkin saja menjadi penulis terkenal suatu hari nanti. Atau malah gila karena khayalannya yang terlalu liar. Aku harap nggak. Siapa sih yang mau adiknya sengsara?
"Hmm sesuatu yang berkaitan dengan percepatan penguraian sampah non-organik."
"Bagaimana denganmu Galih?" Ayah tampaknya puas dan mengalihkam pertanyaan ke Galih. Kembaran Gilang yang beda jauh bumi dan langit.
Galih adalah kapten cheerleader di sekolahnya. Galih dan teman satu cheernya sudah banyak memenangkan berbagai kompetisi regional. Selain itu dia juga banyak menjuarai lomba tari tradisional maupun modern. Galih suka banget shopping dan rutin ke salon paling tidak satu minggu sekali. Selain itu dia adalah orang nomor satu pecinta kafe di rumah ini. Belajar adalah kegiatan yang paling membosankan baginya. Dalam hal ini kami berdua sama.
"Aku nggak kemana-mana hari ini. Hanya saja nanti malam Sean, Citra, dan aku akan merancang kostum cheer yang baru untuk perlombaan bulan depan."
"Kenapa tidak pagi ini sayang?" Ibu menimpali. Ibu memang nggak pernah suka anak-anak gadisnya pergi di malam hari.
"Nggak bisa Bu. Mereka sibuk seharian ini, sedangkan besok kami mulai fokus latihan koreo." Galih memberi alasan.
Dia bohong! Aku tahu itu. Subuh tadi ketika aku ke kamar Galih untuk meminjam rukuh kudapati sebuah kertas hijau berbordir lucu di atas meja belajarnya. Undangan pesta pukul tujuh malam ini.
Galih pasti datang ke pesta itu. Ia tahu Ibu nggak bakal memperbolehkannya datang ke pesta semacam itu. Makanya dia berbohong. Lagipula yang mengundang adalah Joe Tavits. Cowok indo yang ditaksir Galih. Kakak kelasku di Sonata School of Music. Cakep sih, tapi angkuh. Apa sih yag disukai Galih dari cowok satu itu?
"Bagaimana dengamu Meg?"
"Om Seno mengajakku melihat koleksi gitar di galerinya."
"Dasar anak band." cibir Karin.
"Biarin. Daripada kau, pengkhayal!"
"Aku penulis, bukan pengkhayal!"
"Kau pengkhayal yang bermimpi jadi penuliss" Aku menyeringai. Menantangnya berdebat. Karin mendelik sebal. Dia paling benci dikatai pengkhayal.
"Aku penulis. Penulis yang menuliskan khayalannya!" dia sudah siap memborbardirku dengan sejuta pertanyaan ketika Galih berseru,
"Sudah deh, apa bedanya sih?" memotong pertikaian.
"Tentu saja beda!"Karin berteriak marah. Berlalu meninggalkan meja makan. Bahkan seruan Ibupun tak digubris.
"Kenapa sih dia?" Gilang heran melihat adik bungsunya yang tidak biasa. "Hari ini tensinya tinggi banget."
"Gara-gara Alibaba."
"Apa?"
"Lupakan."
Diantara kami berempat, selain bungsu dia juga agak introvert. Dari dulu ia paling suka menyendiri membaca buku. Ketika aku, Gilang dan Galih bermain kejar-kejaran -biasanya Gilang selalu kalah- dia haya duduk sambil mengamati kami. Sesekali mencatat di notebook yang selalu di gantungkannya di leher.
Karin dengan khayalan liarnya mungkin saja menjadi penulis terkenal suatu hari nanti. Atau malah gila karena khayalannya yang terlalu liar. Aku harap nggak. Siapa sih yang mau adiknya sengsara?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar