Harya Suraminata: Komik Indonesia itu
Realis dan Nasionalis
Apakah
anda pernah membaca komik?
Kalau iya
komik apakah yang pernah anda baca?
Kebanyakan
dari kita sekarang amat familiar dengan komik Jepang (manga), Korea (Manhwa),
dan Amerika (Comics). Dunia
perkomikan Indonesia dewasa ini dibanjiri dengan komik Jepang. Boleh dikatakan
‘dimonopoli’. Hal ini dapat ditilik dari jumlah komik Jepang yang terbit setiap
minggunya di Indonesia.
Tetapi
tahukah anda bahwa komik lokal (cerita bergambar Indonesia) pernah sama jayanya
dengan komik Jepang di masa sekarang?
Sepintas
melihat fenomena manga yang akhir-akhir ini semakin gila membanjiri bumi
nusantara, diikuti masuknya komik Korea sebagai ‘saingan tunggal’ Manga saya
tergelitik untuk sejenak ‘kembali ke masa lalu’ menilik jaman kejayaan komik
lokal. Apa pula yang melatarbelakangi surutnya kejayaan komik lokal di blantika
negeri sendiri?
Nasib
baik, Rabu petang lalu saya
berkesempatan berdiskusi langsung dengan salah satu komikus dan seniman
kenamaan Indonesia, Harya Suraminata yang akrab disapa Hasmi. Karyanya yang
paling melegenda adalah Gundala Putra Petir yang di buatnya antara 1969-1982
dengan total 23 judul buku seri. Untuk sekadar bernostalgia dan memberi
gambaran mari kita simak sejenak cuplikan komik Gundala Putra Petir berikut:
“Seorang peneliti jenius bernama
Sancaka menemukan serum anti petir. Tenggelam dalam ambisinya sebagai seorang ilmuwan, dia melupakan hari ulang tahun Minarti,
kekasihnya, yang berakibat putusnya hubungan mereka.
Sancaka yang patah hati berlari dengan hati galau di tengah hujan deras.
Tiba-tiba sebuah petir menyambarnya. Dalam
keadaan koma ia ditarik oleh suatu
kekuatan dari planet lain dan diangkat anak oleh raja Kerajaan
Petir yang bergelar Kaisar Kronz, sekaligus diberkati kemampuan super yaitu
bisa memancarkan geledek dari telapak tangannya. Raja
Taifun dari kerajaan Bayu memberinya kekuatan lari secepat angin.
Sejak itulah, pada waktu-waktu tertentu, ia
tampil sebagai jagoan penumpas kejahatan berpakaian hitam ketat dengan sepatu
dan cawat berwarna merah. Wajahnya tertutup topeng, hanya tampak mata dan
mulutnya, di sisi topengnya terdapat hiasan seperti sayap burung. Ia adalah
kawan mereka yang lemah dan musuh bagi para pencoleng.”
Singkat
cerita Ba’dha Maghrib saya meluncur ke rumah Pak Hasmi dengan menggunakan
sepeda motor. Rumahnya berada di Jalan Magelang KM. 4,5 Karangwaru Lor. Setelah beberapa saat hanya berputar-putar di
jalan, akhirnya saya bertemu Anggi, teman sekaligus putri sulung Pak Hasmi.
Bersama kami melewati beberapa gang kecil untuk mencapai rumah Pak Hasmi.
Suasana
tenang dan akrab langsung menyambut begitu pintu di buka. Pak Hasmi dan Bu
Mujiwati istrinya muncul dari balik pintu, ramah sapaan menyambut saya.
Ditemani
segelas sirup cocopandan dan sepiring martabak hangat, diskusi berjalan santai
diselingi canda dan tawa.
Gundala:
Orisinal dan Lucu
Dunia
seni rupa akrab digeluti Pak Hasmi sejak bersekoh di bangku SMP 1 Bopkri
Yogyakarta. Motivasinya untuk dapat berpenghasilan mandiri membawa beliau
serius menggeluti dunia cerita bergambar.
Karir
menggambar komiknya di mulai tahun 1968. Komik pertamanya yang terbit adalah
Merayapi Telapak Hitam yang bergenre silat.
Atas
permintaan pasar, terbitlah sebuah komik dengan tokoh utama bernama Maza yang
merupakan perwujudan dari Tarzan dan Hercules.
Pada
tahun 1966 rasa kreativitasnya tergugah untuk membuat sebuah tokoh komik baru.
Bukan karena keinginan pasar, tapi sesuai dengan kehendak dan imajinasi
pribadinya.
Maka
tahun 1969 terbitlah komik Gundala Putra Petir sebagai perwujudan
kreativitasnya itu.
Gundala
tokoh ciptaan Pak Hasmi ini mendapat respon positif dari pasar. Sedikit demi
sedikit Gundala mulai memiliki fans fanatik.
Hingga
saat ini fans fanatik Gundala masih sering dijumpai. Kebanyakan mereka
berkumpul dalam suatu komunitas regional pecinta komik lokal dan superhero yang tersebar di berbagai
wilayah Indonesia.
Jika
ditanya apa alasan mereka menyukai Gundala alasannya cukup sederhana.
Orisinal
dan Lucu.
Kesuksesan
ini membawa Gundala naik ke dunia perfilman pada tahun 1982 dengan pemeran
utama Teddy Purba.
Sempat
muncul beberapa rumor bahwa Gundala akan di filmkan lagi hingga puncaknya pada
tahun 2009 muncul suatu alamat website
yang mengaku sebagai tim produksi film Gundala Putra Petir dan mengunggah
naskah film serta proses produksinya.
Diyakini
Pak Hasmi, itu hanyalah salah satu wujud kecintaan fans Gundala supaya Bumi
Langit (pemegang hak cipta Gundala) lekas mem-filmkan Gundala.
Kabar
baik bagi para penggemar sekaligus penikmat dunia hiburan lokal, pada tahun
2014 Gundala benar-benar akan difilmkan. Sebagaimana halnya dikonfirmasi oleh
Pak Hasmi.
Mengapa
Komik Lokal Susah Ditemukan?
Komik
lokal berjaya di mulai sejak era R.A Kosasih (1953-1956). Industri komik lokal
pada waktu itu berpusat di Bandung dan Jakarta. Memasuki tahun 1960 pusat komik
lokal berpindah ke Medan dengan ciri khas kisah legenda dan cerita rakyatnya.
Barulah
pada tahun 1969 komik dengan genre superhero bermunculan dipelopori Wid NS.
Banyak
sekali komikus Indonesia bermunculan.
Jenis
komik apapun laku keras pada saat itu.
Sayang
masa keemasan ini tidak berlangsung lama. Dituturkan Pak Hasmi, pada tahun 1985
entah mengapa komikus dan penerbit mulai jarang menerbitkan buku. Sama halnya
dengan Gundala yang ‘terpaksa’ dihentikan pembuatannya dengan menamatkan secara
‘paksa’ serial Gundala. Judul buku terakhir Gundala yang terbit berjudul Surat
Dari Akherat.
Bertepatan
dengan sepinya pergerakan komik lokal, komik Jepang mulai masuk ke Indonesia.
Berbeda dengan komik Amerika yang lebih dulu masuk, komik Jepang mudah diterima
karena bahasanya sudah di gubah ke bahasa Indonesia tidak dalam bahasa Jepang
maupun Inggris.
Sejak
saat itu dunia komik lokal tertidur pulas, masa jayanya digantikan dengan berkobarnya
kejayaan komik Jepang.
“Salah
satu alasan mengapa komik lokal susah bangkit dewasa ini, salah satunya adalah
karena permintaan pasar yang minim dan tidak ada penerbit yang mau
memfasilitasi anak muda untuk menerbitkan komik lokal.” Ungkap Pak Hasmi.
“Kalaupun
ada peredarannyapun terbatas. Wajar kalau kalian susah mendapatkannya di toko
buku sekarang.”
Ciri dan
Identitas Komik Lokal
Lantas
apa bedanya komi lokal dengan manga atau komik manca lainnya?
“Komik
lokal itu bersifat realis dan sederhana. Maksudnya realis adalah dari segi
penggambaran proporsi tubuhnya sesuai dengan manusia asli. Berbeda dengan manga
yang tidak proporsional baik bentuk, ukuran maupun anatomi tubuhnya.”
Menurut
Pak Hasmi, tidak semua komik yang di gambar oleh komikus Indonesia bisa disebut
komik lokal.
Komik
lokal adalah komik yang digambar dengan gaya lokal kita sendiri sedangkan komik
yang di gambar dengan gaya manga atau comics
meskipun ditulis dan digambar oleh orang Indonesia tetap disebut komik manca
karena kiblatnya yang berasal dari luar itu sendiri.
“Semoga
suatu saat nanti muncul tokoh Indonesia yang bisa mengembangkan gaya menggambar
yang khas dan mendunia, menghidupkan lagi dunia perkomikan kita dan
menjadikannya sebagai kiblat dunia komik lokal yang tidak kalah bagus dengan
komik manca.” Harap Pak Hasmi.