Jumat, 26 Juni 2015

PK (2014)

RESENSI: FILM
PK (2014)

Siapakah Tuhan itu?

Pernahkah walau hanya sekejap selama hidupmu ini engkau mempertanyakan hadir-Nya? Dan kenapa pula manusia beragama? Hari ini, kita dibesarkan dalam keluarga beragama. Sejak lahir nilai-nilai agama itu telah ditanamkan. Beribadah kita lakukan begitu kita sudah dapat melakukannya.
Sholat
Puasa
Berdo’a
Kebaktian gereja
Samadhi
Begitu alamiahnya berjalan. Sampai beberapa dari kita kadang terlupa, untuk siapa dan untuk apa kita beribadah. Film ini sedikit banyak memberi pencerahan tentang hakikat keberadaan Tuhan dan bagaimana agama yang katanya jalan menuju perdamaian itu dipenuhi oleh intrik dan perseteruan, baik bagi umat agamanya sendiri, maupun umat agama yang lain. Seperti halnya konflik pembakaran masjid ketika umat muslim sedang melaksanakan sholat idul fitri di papua yang baru-baru ini terjadi yang konon merupakan ulah umat kristiani.
Seiring berjalannya film ini, Anda akan temukan jawaban yang mungkin selama ini anda cari.

Sinopsis
Cerita ini bermula ketika seorang alien yang seiring berjalannya cerita mempunyai nama bumi PK (Pheekay: Mabuk.red) datang ke bumi. Ia datang ke bumi mewakili kaum planetnya untuk meneliti kehidupan di bumi. Naas, tak lama setelah PK tiba di bumi, tepatnya di kota Mandawa India,  kalung communicatornya dicuri. Tanpa kalung itu, ia tak bisa memanggil pesawat jemputan untuk membawanya pulang ke planet asalnya. Maka dimulailah perjalanan PK mencari kalungnya.
 Berkat seorang teman yang ia kenal selama mencari kalungnya di bumi, ia tahu bahwa kalung itu telah dijual ke New Delhi. Sesampainya di New Delhi, PK menanyai semua orang yang ia tahu. Namun jawaban yang ia terima selalu sama.
“Barangnya dicuri di Mandawa, dan kau mencarinya di Delhi? Ada dua juta penduduk di sini. Polisi itu manusia bukan tuhan.”
“Hanya Tuhan yang bisa menolongmu.”
“Yakinlah pada Tuhan. Dialah yang bisa menolongmu.”
“Hanya Tuhan yang tahu. Bagaimana kami bisa?”
“Hanya Tuhan yang tahu, pergilah!”
“Percayalah pada Tuhan Nak”
Siapa sih Tuhan? Kenapa semua orang menyebut-nyebut hanya Tuhan yang tahu dimana kalungku? Pikir PK. 
Maka dari sinilah perjalanannya mencari Tuhan (Bhagwaan. India.Red) dimulai.
Ia sama sekali tidak tahu tentang Tuhan dan cara menemui Tuhan. Maka ia mulai bertanya pada semua orang. Di sini kebingungan mulai melanda PK yang tidak punya agama dan bingung bagaimana caranya memutuskan agamanya apa? Maka semua rumah Tuhan ia singgahi satu persatu.
Mulai dari kuil,
masjid,
hingga gereja







berikut ibadahnya ia ikuti.
Takdir kemudian membawanya bertemu dengan Jagat Janani (Jaggu) wanita yang baru saja pulang dari Belgia setelah mengalami patah hati. Meneruskan perjalanannya mencari Tuhan, bersama Jaggu yang seorang wartawan, kini PK menyeret lebih banyak orang terlibat dalam pertanyaan besarnya akan Tuhan. Dan tiba-tiba seluruh dunia terlibat …

Saya Setelah Menonton…
Film berdurasi 2,5 jam ini worth it banget untuk ditonton. Trust me you will love this film so much!
Hal yang menarik dari film ini, kontradiksi umat beragama disuguhkan dengan kritis melalui cara yang lucu dan tidak menyinggung maupun provokatif. Pemilihan peran PK sebagai tokoh utama sekaligus sudut pandang cerita juga amat jenius.
Melalui kacamata PK kita dibawa keluar dari kotak-kotak agama kita masing-masing. Mengajak kita mempertanyakan hal yang sebelumnya kita lakukan saja tanpa berpikir dan sekadar rutinitas belaka. Mengosongkan kepala kita dan mulai memposisikan diri seperti PK yang tidak tahu apa-apa. Tanpa dibatasi judgment agama masing-masing, kita diajak melihat agama dan tuhan dengan lebih universal dan kritis.
Berikut ini adalah salah satu dialog favorit saya, ketika PK putus asa mencari siapa Tuhan.
Aku sangat bingung Tuhan, aku pasti melakukan kesalahan yang membuat-Mu tak mendengarku. Kumohon katakan. Tunjukkan aku jalannya. Kumohon….
Aku sudah meminta dan memohon pada-Mu.
Aku sudah bersujud.
Aku sudah ke kuil.
Aku sudah bicara melalui pengeras suara.
Aku sudah membaca kitab Ghita. Al Qur’an. Dan Bible.
Pemuka agama-Mu yang beragam mengatakan hal yang berbeda satu sama lain.
Ada yang bilang beribadah di hari Minggu, ada yang bilang di hari Selasa.
Ada yang bilang sebelum matahari terbit, ada yang bilang setelahnya.
Ada yang memuja sapi, ada yang mengurbankannya.
Ada yang ke kuil tanpa sepatu, ada yang ke gereja pakai sepatu.
Manakah yang salah dan yang benar? Aku tak mengerti.
Datanglah Tuhan.
Overall, film ini mengajarkan kepada kita setiap umat beragama untuk menjadi lebih open minded, mempelajari lagi seperti apa agama kita sebenarnya dan sikap tidak gampang saling menyalahkan alias toleransi.

Plus Minus Keluarga Linus
Berhubung topiknya agak sensitif juga –agama.red- jadi tetep harus pinter nge-filter.  Ps: Saya juga enggak tahu sih kenapa topik agama amat sangat sensitif –gampang memicu reaksi.red- yang ujug-ujungnya perseteruan, konflik, bacok-bacokan, bunuh-bunuhan *ekstrim garis kolot*.
Karena setting filmnya di India, latar Hindhunya memang jadi lebih kuat dibanding agama yang lain. Nilai-nilai Islam *berhubung saya muslim* di sini kurang digali dalam dan tidak begitu mencerminkan Islam yang saya kenal *sekali lagi, saya kenal*.
Misalnya dalam kolase hubungan asmara antara Jagat Janani (Jaggu) dan Sarfaaraz Yusuf ya ampun aktornya cakep banget booooo. Di kisahkan Jaggu beragama Hindhu dan Sarfaaraz berasal dari keluarga muslim Pakistan.
Wala takrabul zina! *tereak pake toa tetangga*
Mbak Mas aurotnya dikondisikan
            Di scene ini sebenernya cuma adegan nyanyi-nyanyi gitu. Tapi mereka berdua entah kenapa udah ada di balkon apartemen gitu. Mana si Jaggu cuma pake atasan dan celana dalem celana super pendek dan Sarfaaraz cuma pakai celana jeans. Sisanya topless. Ya ampun ini mah nikmat dunia zina mata buat para cewek. Bukan aurat sih tapi, orang aurat cowok dalam islam dari pusar sampai lutut doang. Tapi yaaa badannya itu lho hot banget agak terlalu terbuka menurut adat ketimuran bikin berimajinasi yang nggak-nggak aja. 
Tangannya dikondisikan dong Mas Sarfaaraz
Perlu ditekankan, yang tidak sesuai orangnya bukan agamanya #notedgariskeras
Kisah yang inspiratif ini diperkuat dengan alur cerita yang anti mainstream diselingi humor segar yang bikin ngakak tapi ada juga adegan sedih yang bikin mewek bikin film ini kelihatan banget khas India. Belum lagi adegan musikal –nyanyi sambil nari ala film india- bikin saya sukses jejingkrakan ikut goyang.
Salah satu faktor kunci film ini ada di paragraf prolognya juga menurut saya. Adegan prolognya dimana PK datang ke bumi agak panjang dan membosankan menurut saya. Tapi paragraf pengantarnya so anti mainstream dan menarik jadi saya bertahan tetap nonton.

“Kau tahu berapa banyak bintang di langit? Pernahkah kau mencoba menghitungnya?
Jika kau menghitungnya, ada sekitar 6.000 milyar setidaknya. Itupun hanya di galaksi kita.
Dan ada berapa banyak galaksi? Ilmuwan mengatakan ada sekitar  2 milyar galaksi atau lebih. Karena itu, bagaimana jika seandainya dalam planet-planet itu ada yang berpenghuni. Sama seperti kita.Dan sama seperti kita ke bulan dan mars, mereka juga mencari kita dan datang kemari.-Paragraf pengantar prolog kedatangan PK-
Performance
Dibintangi oleh Aamir Khan aka PK/Pheekay
As known as a multitalented actor, script writer, producer and sutradara.

Nggak asing lagi lah sama aktor yang satu ini. Doski sudah banyak main di banyak film yang hampir kesemuanya best movie. Pokoknya daftar film dan penghargaan Bang Aamir ini banyak banget lah. Bakal nggak selesai sehari semalem kalau dijabarin. Pokoknya dia juga main di Taare Zamen Paar dan 3 Idiots (buat lu lu yang ngaku suka nonton film, sumpah lu cupu banget dan nggak pantes memanggakan diri kalau belum nonton 3 Idiots. Ini film mega hits best movie nya India yang dijuluki Film Paling Bagus Sepanjang Masa)

 Anushka Sharma aka Jagat Janani/Jaggu

Just one word: Beautiful.

Awalnya waktu ngelihat filmnya, saya sempat mengira ini aktris peranakan blasteran India-Eropa gara-gara di film rambutnya di potong pendek. Pixie cut dan dicat brunnette. Kesannya jadi agak-agak european. Tapi setelah dilihat lagi doski tulen India kok.

And the Last but not least
Sebelumnya maaf karena saya males tidak sanggup mencari semua nama pemainnya. Mungkin lain waktu. Saya hanya akan berhenti di tokoh ketiga ini. Dia adalah…


SUSHANT

 SINGH RAJPUT


Sushant Singh Rajput aka Sarfaaraz Yusuf
Wkwk *ceritanya udah pilih kasih dari awal*

Ini salah satu aktor favorit saya yang banting setir dari Engineering ke dunia seri peran.
Udah ganteng pake banget, jago akting suaranya bagus pula.Cinta dah!


Mas, gantengnya tolong dikondisikan. *Fangirl syndrome kumat*

Multi talented actor yang satu ini juga banjir tawaran film, series, model, dkk.
Sering juga dapet penghargaan. Pokoknya apapun itu yang berhubungan dengan ‘best’ dan ‘favorite’ di hampir setiap kategori dia menang, minimal yang mana ini jarang banget karena lebih sering menang dinominasiin.

Salah satu aktor dengan body postur paling bagus juga #nggakpenting #fangirlaja


Sayang udah punya tunangan



Kamis, 25 Juni 2015

Jiwa

Jiwanya sudah hancur. Keping-keping jiwa itu terserak tajam melukai sendi-sendi hidupnya tanpa terkecuali. Bagai duri yang menancap, awalnya terasa sakit. Tak terperi sampai ia rasanya ingin mati saja. Bertahun luka itu memaksanya meraung dan menjerit. Menghiba seseorang untuk mencabut keping-duri, menyembuhkan sakit dan menutup luka-luka itu. Siang dan malam tiada pernah terputus hingga suaranya hilang ditelan angin. Luka itu masih menganga. Begitu lama hingga ia tak lagi merasakan sakitnya. Mati rasa.
Semarak pesta tidak lagi menimbulkan gelak tawa dan kebahagiaan. Pun begitu medan perang laksana panggung opera yang membisu baginya. Dunia berputar lambat dalam bingkai hitam dan putih. Tanpa warna dan emosi.

Jiwanya mati. Mati dan membusuk bersama jasad Cersei. Calon Permaisurinya.

Berlagak Jomblo

Bilang jomblo aja susahnya kok minta ampun sih? Renai mengerutkan keningnya. Tak habis pikir sama sobat-sobatnya yang mengecam kejombloan mereka sebagai nasib buruk yang harus di usir. Pergi jauh-jauh dari hidup mereka kalau perlu.
Tambah heran lagi kalau manusia-manusia abnormal itu nggigitin taplak meja makan kantin bebarengan pas ngelihat Janitra –si cewek hits, model majalah Maniz, adik kelas mereka- jalan ke sana kemari ngintil Boiyan kemanapun cowok itu pergi.
Boiyan?
Iyaa. Si pangeran paling tampan se SMA Para-para, cowok idola semua umat. Udah bodinya maco kayak Rain-Bee, kulitnya kuning langsat semi coklat terbakar matahari, bola matanya coklat muda, kalau senyum.. Duh mana ada yang nahan dikasih gigi sekinclong pepsodent bonus double lesung pipit model gitu.
“Iiihhh genit banget sih si Janitra!” Caron meremas Bakpao di tangannya gemas.
“Iyaaa! Ya ampun, lagaknya itu loh! Nempelin Boiyan mulu. Dasar cewek sok kecantikan,” timpal Meike yang disambut gerutuan pelan Ciku.
“Emang cantikkan?” Acuh tak acuh Renai tetep asik menyantap Mie Ayam Bakso porsi jumbo plus pangsit isi abon kesukaannya. Kontan Caron, Meike dan Ciku mendelik. Heran sama ke ethelan sobatnya yang emang terkenal cuek-cuek aja walau misalnya tornado bakal menyapu SMA Para-para sepuluh detik lagi. Mau tak mau takjub sama porsi makan kulinya. Ngalah-ngalahin porsi makan cowok-cowok klub Silat yang abis dapet hell training.
“Dasar payah.” Lama-lama Ciku sebel juga. “Nggak bosen apa tiap hari berempat gini? Gersang tau, apa lagi ngeliatin oasis yang cuma fatamorgana.” Pandangan mata Meike, Caron dan Ciku otomatis tertumbuk pada Boiyan. Berusaha seacuh mungkin dengan kehadiran Janitra di sampingnya.
Mau nggak mau Renai ketawa juga ngelihat temen-temennya. Antara sedih, prihatin dan… geli. Bikin nggak enak hati mau ngomong. Batinnya.
“Cik cik!” Meike tiba-tiba menyikut Ciku. Yang disikut kaget bukan main sampe nggak sengaja nyenggol gelas minum Caron yang isinya masih tiga perempat gelas. Sukses tumpah, nyipratin baju Renai.”
“Hei!” Kontan semua noleh ke arah Meike. Meike sendiri bukannya minta maaf malah kaku madep depan. Telunjuknya udah kayak orang lagi tahiyat akhir. Nunjuk-nunjuk diiringi mulutnya komat kamit.
“Itu… itu…” Ini orang belagak gagap atau gimana sih? Batin Caron mengikuti arah telunjuk Meike.
Sekarang giliran Caron yang mangap. Bengong kayak orang mupeng.
Renai dan Meike kontan menoleh menyaksikan dua sohibnya yang tingkahnya udah kayak kesihir Uya Koya.
“Ini bukan mimpikan?” Bisik Ciku.
Layaknya adegan-adegan mainstream ala drama korea, Boiyan berjalan dengan mode slow motion. Cahaya-cahaya silau membingkai sosoknya. Angin berhembus sepoi-sepoi dan daun kering berjatuhan.
“Dia jalan ke arah kita Cikk!” Meike memekik senang.
“Aduh-aduh, muka minyakan gini,”  Caron tiba-kontan mencari-cari tisu.
Begitu Boiyan berdiri satu meter di hadapan mereka yang cuma dijarakin meja kantin, semua kontan menelan ludah. Glek. Nikmat dunia dah ini.
“Hai say, udah selesai makannya?” Boiyan tersenyum.
Lho perasaan cuma pesen minum deh.
Ke kantin juga cuma nongkrong, nggak makan.
Lho yang makan kan di sini cuma…
“RENAAI??”

Jumat, 19 Juni 2015

Bakar


Teriakan itu terus bergema dalam kepalanya. Berat. Pusing. Panas.  Aku tidak sanggup lagi. Batinnya. Ia terus menjambaki rambutnya. Putus asa itu datang secara perlahan tapi pasti. Hingga tiba di satu titik akal sehatnya tidak dapat berfungsi lagi.
Sudah! Bakar saja aku.

Ia berteriak, kali ini dengan nada memohon. Orang di depannya tersenyum. Memantik api yang sedari tadi ia gantungkan dekat di wajah sang korban.

Kamis, 18 Juni 2015

Pertemuan


Pernah kau rasakan pertemuan seperti hari ini?
“Hai, bolehkah aku meminta waktumu sebentar?” aku memutar mata diam-diam, memilih tetap menunduk. Sibuk berkutat dengan modul pelajaran tahun terakhir sambil meneruskan berjalan. Langkah kaki itu terdengar lagi. Dua langkah di belakangku.
“5 menit saja,” tawar suara itu diiringi sumpah serapah yang kusimpan dalam hati. Menyesali keputusanku melintasi jalanan kota yang padat di jam makan siang seperti ini.
“Ayolah tolong dengarkan sebentar..” tap. Tap. Tap. Masa bodoh.
“Halo Nona?” Tap. Tap. Tidakkah ia melihat? Aku sedang sibuk.
“Tolong dengarkan sebentar saja.” Tap. Keras kepala. Aku tidak punya waktu untuk melayani promosi sales di pinggir jalan.
“Maaf Tuan, aku sedang sibuk!” Aku membalikkan badan tiba-tiba. Orang itu mundur selangkah terkejut. Mataku bertemu matanya.
“Halo Nona, maaf-”
Ia seumuran denganku. Ada lambang Teratai putih di saku kemeja satu lengan yang ia kenakan. Lambang itu… Padma Academy. Sekolah pinggiran tempat orang-orang buangan. Kabarnya sekolah itu suka membuat keributan.
“Ayolah, bicara sebentar denganku. Lima belas menit saja.” Rupanya ia belum menyerah. Aku menggeleng pelan. Mengamati penampilannya sekali lagi.
“Ah, tidak lima menit saja.” Tawarnya.
Tindik berlapis di daun telinga…
“Oke, bagaimana kalau satu menit?”
tato naga di lengan kanan dan… seragam macam apa itu?
“Kalau kau benar-benar tidak ada waktu cukup dengarkan aku tiga puluh detik saja. Oke? Hei-”
Orang ini berbahaya.Semacam penguntit mungkin. Putusku sambil mulai berlari. Mengacuhkan permintaannya.
“Tungguuu!” Aku menoleh ke belakang sambil terus berlari. Tidak, ia mengejarku.
“Toloongggg!!” Aku mulai berteriak. Tidak melihat polisi tidur yang dengan manis menyandung kaki. Badanku terlempar setengah meter ke depan. Aku menutup mataku. Bersiap menghantam aspal. Tapi tidak. Dua belah lengan menangkap tubuhku dengan sigap. Aku membuka mata perlahan. Penolongku tersenyum. Dandanannya adalah dandanan seorang wanita. Tapi badannya adalah badan seorang pria. Apakah ia…
“Isabella!” Penolongku menoleh pada pria yang mengejarku tadi.
“Oi, apa yang kau lakukan Rei?”
“Aku hanya tidak mau ia melarikan diri.” Jawab pria penguntit bernama Rei itu. Pandanganku berkunang-kunang. Tanah seperti berputar. Pucuk gedung perkantoran menyatu dengan langit membentuk lingkaran yang saling bersambungan. Kemudian semuanya menjadi putih.
Anemia. Aku sudah terjaga bermalam-malam mengkhawatirkan tentang ujian akhir.
“Oi oi, apa yang terjadi?”
“Cepat bawa dia ke studio.” Sayup-sayup aku mendengar orang bernama Isabella dan si penguntit Rei itu bicara lalu semua hilang.
*
“Waaah, kau sudah sadar?” Gadis berkucir dua itu menunduk ke arahku begitu aku membuka mata. Penampilannya seperti cosplayer lolita yang sering kulihat di pinggir jalan.
“Dimana ini? Siapa kau?” kontan aku terduduk. Rei dan Isabella juga ada, menatapku.
“Hai. Aku Sania Amara. Teman Rei dan Isabella. Kami murid akademi seni Padma. Ini studio kami.”
Aku mengernyit. “Studio?”
“Iya. Kami membuat pakaian bersama-sama.” Jawabnya sambil menunjuk gulungan kain di sudut ruangan dan mesin jahit serta manekin di sudut lainnya.
“Padma Academy?” Aku berdiri merapikan seragamku.
“Waah sekolah kami terkenal.” Sania tersenyum gembira.
“Tentu saja. Apa kubilang!” Pemuda bernama Rei itu menimpali. Bangga sepertinya. Aku mencibir.
“Tentu saja terkenal. Terkenal karena yang diterima orang-orang bodoh seperti kalian. Terkenal suka memukuli murid sekolah lain.”
“Aku tidak memukul, hanya mengikutimu.” Rei memotong ucapanku cepat. Hening. Sudahlah. Aku tidak peduli.
“Aku mau pulang. Terimakasih sudah merawatku.”  Ucapku basa-basi sambil beranjak meraih tasku dan berjalan ke arah pintu dengan papan kayu exit di atasnya.
“Tunggu Caroline!” aku membalikkan badan.
“Siapa yang kau maksud? Aku?”  Sania mengangguk.
“Kau belum mengatakan siapa namamu. Sebenarnya kami ingin menawarimu menjadi model kami di fashion show kelulusan kami di Padma Academy-“
“Wow wow wow, tunggu. Aku jadi model? Please, kalian bercanda. Maaf aku tidak punya waktu meladeni urusan tidak penting kalian dan baju-baju kalian. Dah.”
Tangan Rei tahu-tahu sudah mencekal pergelanganku. “Hei!” protesku.
“Tarik kembali kata-katamu.” Ucapnya dingin. Aku memutar mata. Enak saja.
“Apa perlunya?!” Aku berteriak. Menentangnya.
“Hey!” Ia berteriak. Cekalannya semakin kuat. Apa-apaan maunya orang ini?
Tiba-tiba pintu kayu itu terbuka. Seorang pria berdiri di sana. Mengenakan setelan jas hitam santai dan kemeja putih serta vedora hat hitam. Tangan kanannya menenteng sebuah gaun.
Ia tidak menatap ke manapun kecuali mataku. Aku terpaku.
Pernahkah kau bertemu dengan seseorang yang ‘menakutkan’? Sejak awal.. kau berpikir ‘orang ini membuatku takut’. Jika orang ini ada di sekitarku, dia akan menghancurkan hidupku. Salah satu orang yang kau tidak akan pernah tau apa yang akan mereka lalukan.
Pernahkah kau mengalami pertemuan seperti itu?

Karena aku baru saja mengalaminya.

"Setiap tetes tinta seorang penulis adalah darah bagi perubahan. Karenanya, perhatikanlah bagaimana ujung penamu bergerak."


-18 Januari 2015, di batas perantara malam-